Kasus Gagal Ginjal Kronis Meningkat Dua Kali Lipat di Bandung, Apa Sebab?
Kasus gagal ginjal kronis di Kota Bandung meningkat dua kali lipat di 2020.
REPUBLIKA.CO.ID, Bandung -- Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandung, kasus gagal ginjal kronis mengalami peningkatan hingga dua kali lipat, dari 7.300 kasus di 2020, menjadi 13.209 di 2021. Pelaksana tugas (Plt) Kepala Dinas Kesehatan Kota Bandung Anhar Hadian mengatakan, saat ini terjadi pergeseran kelompok pengidap penyakit tidak menular khususnya gagal ginjal, dari kelompok usia lanjut menjadi kelompok usia produktif.
“Kalau dulu penyakit tidak menular identik dengan jantung, hipertensi, diabetes, itu penyakit untuk penyakit orang tua, tapi kalau sekarang anak-anak muda sekalipun banyak yang menderita,” kata Anhar saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (10/8/2022).
Menurutnya, kenaikan angka pengidap kasus gagal ginjal, mayoritas disebabkan gaya hidup tidak sehat seperti pola makan tidak sehat, kurang konsumsi air putih dan faktor lainnya. Sebagai langkah antisipatif, Anhar menyarankan masyarakat untuk melakukan pemeriksaan atau pendeteksian dini (screening) minimal satu tahun sekali, merujuk pada minimnya gejala yang terlihat di stadium awal penderita gagal ginjal.
“Sejauh ini kami memang baru bisa skrining penduduk usia produktif itu sekitar 20-30 persen saja, dan itupun masih standar. Kita kemudian mengetahui bahwa sekitar 4-5 persen itu hipertensi, penyakit jantung. Kita juga memang baru melakukan tes untuk penyakit diabetes dengan tes sederhana saja, dan angkanya lumayan,” ungkapnya.
Meskipun, belum ada pemeriksaan spesifik untuk mendeteksi penyakit gagal ginjal, namun Anhar mengatakan, hipertensi dan diabetes merupakan penyakit yang menjadi cikal bakal terjadinya penyakit gagal ginjal. Oleh sebab itu, untuk mengetahui resiko gagal ginjal, masyarakat dihimbau untuk melakukan pemeriksaan sederhana seperti skrining hipertensi dan diabetes.
“Sejauh ini yang terdeteksi adalah hipertensi. Karena memang pemeriksaan ginjalnya belum optimal, belum semua Puskesmas di setiap kegiatan dapat memeriksa ginjal,” ujarnya.
Terkait program pengedukasian bahaya penyakit gagal ginjal, Anhar mengakui hingga saat ini program edukasi masih sangat minim. Namun dia memastikan gerakan pencegahan dan sosialisasi tentang upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit ginjal akan ditingkatkan dan disinergikan bersama dinas terkait.
“Insyaa Allah nanti kita rintis bersama. Kita mulai gemakan bahwa perlu ada pencegahan atau penanggulangan penyakit ginjal,” pungkasnya.
Sebelumnya, Direktur Utama Rumah Sakit Khusus Ginjal (RSKG) Ny.R.A. Habibie Noor Rusma Hidayati mengungkapkan, saat ini pengidap penyakit gagal ginjal didominasi oleh pasien dengan usia produktif, kisaran 20-50 tahun. Menurutnya, minimnya pemahaman dan edukasi tentang bahaya gagal ginjal, membuat banyak pengidap menganggap enteng bahkan tidak menyadari gejala yang mereka alami. Hal ini pula yang membuat mayoritas pengidap gagal ginjal baru mengetahui penyakitnya ketika telah memasuki stadium akhir atau kritis.
“(kisaran usia pengidap gagal ginjal) variatif ya, tapi paling banyak justru usia produktif. Ada yang masih sekolah juga tapi tidak banyak. Mayoritas itu kisaran 20-50 tahun, sekitar 80 persen dari total pasien ginjal. Kalau usia di atas 60 itu tidak banyak sekitar 10 persen, yang di bawah 20, antara 5-10 persen,” kata Rusma kepada Republika, saat ditemui di acara peringatan HUT RSKG Ny.R.A. Habibie di Kota Bandung, Senin (8/8/2022).
“Kebanyakan mereka sudah berada di stadium kritis, karena edukasi dan pemahaman mengenai gejala penyakit ginjalnya itu yang masih rendah. Jadi pasien itu kadang tidak sadar, menunda, menganggap remeh dan lainnya. Jadi saat kondisinya sudah stadium lima baru datang ke RS jadi akhirnya kondisinya memang sudah gawat,” ujarnya.
Dia mengakui bahwa memang tidak ada gejala khusus untuk pengidap gagal ginjal stadium awal, bahkan ada beberapa kasus dimana pasien tidak merasakan gejala apapun. Oleh sebabnya, dia menyarankan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, minimal setahun sekali, sebagai upaya pendeteksian dini. Adapun kelompok-kelompok yang paling rentan, kata dia, adalah mereka yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit gagal ginjal. Orang yang memiliki penyakit hipertensi dan diabetes juga menjadi kelompok yang rentan terjangkit gagal ginjal, kata dia.
“Gaya hidup tidak sehat juga sebenarnya bisa, cuma saat ini kalau berdasar angka dari Dinkes, penyebab tertinggi memang masih hipertensi dan diabetes, tapi selain itu juga karena gaya hidup tidak sehat,” ujarnya.