Taiwan Tolak Model Pemerintahan Satu Negara Dua Sistem oleh China
China akan mengerahkan upaya terbaik untuk mencapai reunifikasi damai.
REPUBLIKA.CO.ID, TAIPEI -- Taiwan menolak model pemerintahan "satu negara, dua sistem" yang diusulkan oleh Beijing dalam buku putih, yang diterbitkan minggu ini. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Taiwan, Joanne Ou pada Kamis (11/8/2022) mengatakan, hanya rakyat Taiwan yang dapat memutuskan masa depan negaranya.
"China memanfaatkan kunjungan Ketua House of Representative Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taipei sebagai alasan untuk menciptakan normalitas baru untuk mengintimidasi rakyat Taiwan,” ujar Ou.
Sebelumnya China pada Rabu (10/8/2022) menegaskan kembali ancamannya yang akan menggunakan kekuatan militer untuk mencaplok wilayah Taiwan yang demokratis. Versi bahasa Inggris dari pernyataan China mengatakan, Beijing akan mengerahkan upaya terbaik untuk mencapai reunifikasi damai.
“Tetapi kami tidak akan meninggalkan penggunaan kekuatan, dan kami memiliki opsi untuk mengambil semua tindakan yang diperlukan. Ini untuk menjaga dari campur tangan eksternal dan semua kegiatan separatis,” kata pernyataan itu.
China menggelar latihan militer di sekitar Selat Taiwan sebagai tanggapan atas kunjungan Ketua House of Representative Amerika Serikat (AS), Nancy Pelosi ke Taipei. China telah berulang kali mengecam AS agar tidak ikut campur dalam urusan internalnya.
Selain itu, China telah menghentikan dialog tentang berbagai macam isu mulai dari keamanan maritim hingga perubahan iklim dengan AS. Amerika Serikat tidak menjalin hubungan diplomatik formal dengan Taiwan. Namun AS menjadi pemasok utama alat pertahanan Taiwan.
Persoalan Taiwan ini menjadi salah satu penyebab ketegangan hubungan antara Beijing dan Washington.
“Kami akan selalu siap merespons dengan menggunakan kekuatan atau cara lain yang diperlukan untuk campur tangan kekuatan eksternal atau aksi radikal oleh elemen separatis. Tujuan utama kami adalah untuk memastikan prospek reunifikasi damai China dan memajukan proses ini,” kata pernyataan pemerintah China.
Menteri Luar Negeri Taiwan, Joseph Wu, pada Selasa (9/8/2022) memperingatkan bahwa latihan militer China mencerminkan ambisi untuk mengendalikan petak besar Pasifik barat. Sementara Taipei juga melakukan latihan militer untuk kesiapan mempertahankan diri dari serangan China.
"Strategi Beijing akan mencakup mengendalikan laut China Timur dan Selatan melalui Selat Taiwan dan memberlakukan blokade untuk mencegah AS dan sekutunya membantu Taiwan jika terjadi serangan," ujar Wu.
Beijing memperpanjang latihan yang sedang berlangsung tanpa mengumumkan kapan latihan itu akan berakhir. Kementerian Pertahanan China dan Komando Teater Timur mengeluarkan pernyataan yang mengatakan, latihan itu telah mencapai target yaitu mengirim peringatan kepada mereka yang mendukung kemerdekaan formal Taiwan dan pihak asing yang mendukung. Komando Teater Timur mengatakan, pasukan yang ambil bagian dalam latihan tersebut telah secara efektif menguji kemampuan tempur gabungan terintegrasi.
“Pasukan teater akan memantau perubahan situasi di Selat Taiwan, terus melakukan pelatihan dan persiapan militer, mengatur patroli kesiapan tempur reguler di Selat Taiwan, dan dengan tegas mempertahankan kedaulatan nasional dan integritas teritorial,” kata juru bicara Komando Teater Timur, Kolonel Shi Yi.
Taiwan berpisah dengan China daratan di tengah perang saudara pada 1949. Taiwan menentang penyatuan politik dengan China, dan lebih memilih untuk mempertahankan hubungan ekonomi yang erat dan status quo kemerdekaan de-facto.
Di luar risiko geopolitik, krisis yang berkepanjangan di Selat Taiwan dapat memiliki implikasi besar bagi rantai pasokan internasional. Taiwan adalah penyedia chip komputer yang penting bagi ekonomi global, termasuk sektor teknologi tinggi China.
Taiwan telah menempatkan pasukannya dalam kondiai siaga. Tetapi sejauh ini, Taiwan menahan diri dan tidak mengambil tindakan pencegahan aktif.