Pasar Saham Global Menguat di Tengah Kenaikan Suku Bunga dan Ancaman Resesi
The Fed akan melanjutkan kenaikan suku bunga di tahun ini.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah siklus kenaikan suku bunga The Fed dan kekhawatiran resesi ekonomi, pasar saham global mencatat penguatan di bulan Juli. Ekspektasi The Fed yang sudah mendekati puncak dari siklus kenaikan suku bunga dan akan mulai beranjak lebih dovish di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi disebut menjadi pendorong kinerja pasar.
"Sentimen pasar juga tertopang oleh laporan keuangan emiten AS kuartal dua yang lebih baik dari ekspektasi, terutama karena ekspektasi pasar terhadap kinerja emiten sudah sangat rendah di tengah kondisi inflasi tinggi yang dapat menggerus marjin laba," kata Senior Portfolio Manager, Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, Rabu (17/8/2022).
Selain itu dari perspektif valuasi, pasar saham AS sudah turun ke level yang atraktif di bulan Juli. Rasio P/E sudah turun ke-1 standard deviasi di bawah rata-rata lima tahun, memberikan entry point menarik bagi investor yang menilai kalau seluruh berita negatif terkait melemahnya pertumbuhan ekonomi, inflasi tinggi, dan kenaikan suku bunga yang agresif sudah diperhitungkan oleh pasar saat ini.
Secara teknis kontraksi ekonomi di AS selama dua kuartal berturut-turut dapat dikatakan sebagai resesi. Tapi Samuel melihat kondisi saat ini lebih kompleks dari definisi tersebut. Umumnya pada kondisi resesi terdapat tingkat pengangguran yang meningkat, serta aktivitas industri dan konsumsi masyarakat melemah. Namun saat ini kondisi tersebut tidak terjadi di Amerika.
Tingkat pengangguran masih sangat rendah di 3,5 persen dan tingkat ketenagakerjaan masih pada level kuat yang tidak mengindikasikan kalau ekonomi dalam kondisi resesi. Secara umum, Samuel melihat data PDB ini sebagai indikasi ekonomi Amerika dalam kondisi pelemahan, kondisi yang wajar seiring dengan kenaikan suku bunga secara agresif.
"Kami ekspektasikan pertumbuhan ekonomi Amerika akan relatif rendah di semester dua tahun ini dan 2023," kata Samuel.
Di tengah pelemahan ekonomi AS, Samuel melihat, The Fed akan melanjutkan kenaikan suku bunga di tahun ini hingga terdapat bukti kalau tekanan inflasi mereda secara konsisten. Saat ini prioritas utama The Fed adalah menanggulangi inflasi walaupun harus sedikit mengorbankan pertumbuhan ekonomi.
Menurut Samuel, saat ini sudah terdapat indikasi tekanan inflasi mulai berkurang seiring dengan meredanya harga komoditas dunia. Harga minyak dunia sudah turun ke bawah 100 dolar AS per barel, turun 26 persen dari titik tertingginya di 127 dolar AS. Harga gandum yang sempat melesat karena konflik Rusia-Ukraina juga sudah turun 45 persen dari titik tertingginya.
Apabila kondisi ini dapat dipertahankan, maka sangat mungkin bagi The Fed untuk mulai mengurangi intensitas kenaikan suku bunganya yang dapat menjadi kabar positif bagi pasar finansial. Ekspektasi pasar saat ini memperkirakan suku bunga The Fed dapat mencapai 3,5 persen di akhir tahun, dengan besaran kenaikan suku bunga tiga rapat terakhir tahun ini akan lebih kecil dibanding kenaikan 75 bps di bulan Juni dan Juli.