Desainer Harap Pasokan dan Variasi Bahan untuk Modest Fashion Lebih Banyak Lagi

Bahan baku untuk modest fashion cenderung itu-itu saja.

Republika/Putra M. Akbar
Model melakukan peragaan busana saat parade roadshow Jakarta Muslim Fashion Week (JMFW) di Jakarta, Selasa (23/8/2022). Desainer mengatakan variasi bahan untuk modest fashion cenderung terbatas.
Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Desainer Khanaan Shamlan berharap ketersediaan serta ragam pilihan bahan baku atau kain untuk membuat busana Muslim (modest fashion) di Indonesia bisa lebih banyak lagi. Ia mengatakan produk dari jenama Khanaan banyak menggunakan kain sutra, namun ketersediaan jenis kain tersebut mayoritas datang dari China.

Menurut Khanaan, bahan lokal sebetulnya juga bagus. Ia mencontohkan rayon.

Baca Juga



"Mungkin beberapa teman desainer yang tadinya banyak pakai sutra, sekarang menjadi beralih ke rayon, bagus juga sih, cuma alangkah baiknya ketersediaan bahan atau opsi bahan untuk desain itu lebih banyak lagi," kata Khanaan dalam acara "Road To Jakarta Muslim Fashion Week" di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Di sisi lain, sebagai jenama yang konsisten dengan batik atau wastra, Khanaan juga ingin menggunakan kain-kain yang dibuat langsung oleh para perajin daerah agar mereka tetap memiliki pemasukan. Senada, desainer Ivan Gunawan mengatakan bahwa para perancang busana mengalami kesulitan dalam mencari bahan baku.

Saat ini, bisnis fashion semakin bertumbuh. Akan tetapi, menurut Ivan, bahan baku yang ada justru itu-itu saja.

"Saya pernah sempat beli di China, tapi barang yang hadir dari China nanti ada 'lampu merah', 'lampu hijau', 'lampu kelap-kelip' (hambatan), jadi karya kami juga akhirnya tersendat. Jadi kalau saya, sih memang 90 persen bahan dasar itu dari lokal," katanya.

Ivan mengatakan bahan baku yang digunakan para jenama fashion kemungkinan relatif sama. Akan tetapi, bahan-bahan unik di Indonesia pun dapat dikatakan masih sangat kurang.

Menurut Ivan, Indonesia memiliki kekayaan wastra. Hanya saja, harga satu lembar kain wastra yang dibuat dengan tangan oleh perajin masih relatif mahal sehingga biasanya hanya konsumen kalangan menengah atas yang mampu membeli.

"Kalau kami menggunakan wastra, batik saja selembar sudah Rp 3,5 juta, songket selembar Rp 6 juta sampai Rp 7 juta, yang bisa membeli karya kami hanya di kalangan menengah ke atas, sedangkan market kami ini dari kalangan A sampai Z," kata Ivan.

Ivan mengatakan bahwa para pelaku bisnis fashion juga harus menargetkan pasar untuk konsumen menengah mengingat luasnya komunitas muslim yang ada di Indonesia. Sementara itu, desainer Ria Miranda juga mengalami kesulitan yang serupa terkait ketersediaan bahan baku.

Jenama Ria Miranda yang dikembangkannya konsisten dengan "Minang heritage". Jenama ini menggunakan bahan yang dibuat perajin di Sumatra Barat, namun karena berbagai hambatan pada akhirnya Ria beralih ke kain printing.

"Sebenarnya ingin banget bisa angkat songket asli dan tenun asli dari berbagai daerah, cuma koneksinya belum ada ke daerah masing-masing," kata Ria.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler