Jaksa: Berkas Kasasi Kasus KM50 Baru Dikirim ke MA Usai Ramai Kasus Sambo
Jaksa pertanyakan berkas kasasi kasus KM50 baru dikirim ke MA usai ramai kasus Sambo.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J) yang melibatkan Inspektur Jenderal (Irjen) Ferdy Sambo sebagai tersangka berdampak pada proses pengajuan kasasi kasus unlawfull killing enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI).
Jaksa Penuntut Umum (JPU) kasus pembunuhan enam Laskar FPI, Zet Tadung Allo mengatakan, berkas perkara untuk proses kasasi perkara unlawfull killing tersebut, baru dilimpahkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), ke Mahkamah Agung (MA) setelah gembar-gembor kasus Sambo, mencuat ke publik.
Padahal, dikatakan Tadung, memori kasasi dari JPU atas kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pembunuhan enam anggota Laskar FPI tersebut, resmi diajukan ke PN Jaksel, sejak Selasa 22 Maret 2022 lalu.
Akan tetapi, dikatakan Todung, PN Jaksel, baru memproses administrasi kasasi ke MA atas kasus tersebut, pada 29 Juli 2022 atau lima bulan setelah JPU resmi mengajukan kasasi.
“Kita belum menerima hasil kasasi karena PN Jaksel baru mengirimkan berkas kasasi perkara itu (unlawfull killing) setelah ada kasus Sambo ribut-ribut ini,” ujar Todung kepada Republika, Sabtu (27/8).
Pun, kata Todung, PN Jaksel baru memberitakan kepada tim JPU, proses kasasi tersebut, baru disorongkan berkasnya ke MA, pada awal-awal Agustus 2022. “Jadi, kita (JPU) pertanyakan juga kenapa itu lama sekali. Dan kenapa setelah ada kasus Sambo ini, PN (Jaksel) baru memberikan (berkas kasasi) ke MA,” ujar Todung.
Todung tak mau berspekulasi tentang apapun, apakah mencuatnya kasus Sambo, berkelindan dengan proses hukum berjalan terkait perkara pembunuhan enam Laskar FPI tersebut.
Tetapi, Todung mencermati desakan publik, pun pernyataan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang menyampaikan wacana penyidikan baru kasus KM 50 tersebut. Meskipun dikatakan Todung, penyidikan baru kasus unlawfull killing tersebut, membutuhkan bukti baru, atau novum jika dilakukan penyidikan ulang.
“Kalau penyidikan baru itu bisa saja. Tetapi, itu menjadi kewenangan penyidikan (Polri), jika ada ditemukan, atau ada yang mengajukan bukti-bukti baru,” ujar Todung.
“Dan itu (penyidikan ulang) dilakukan setelah kasus ini (yang sedang berjalan) inkrah dulu,” sambung Todung.
Namun begitu, dikatakan Todung, tanpa adanya novum, ataupun bukti-bukti baru, penyidikan baru kasus tersebut, dapat dilakukan melalui perintah hakim MA yang dituangkan dalam putusan kasasi yang sedang berjalan sekarang ini.
Meskipun begitu, menurut Todung, paling penting saat ini, dari putusan kasasi itu nantinya, diharapkan dia, dapat mengubah putusan majelis hakim PN Jaksel yang melepas dua terdakwa Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella, dari jeratan hukuman.
Padahal, dikatakan Todung, dalam putusan tingkat pertama, majelis hakim menyatakan dua terdakwa anggota Resmob Polda Metro Jaya itu, bersalah melakukan pembunuhan enam Laskar FPI.
“Jadi sesuai dengan kasasi dari yang kami (JPU) lakukan, meminta agar hakim di Mahkamah Agung yang berwenang memeriksa perkara ini, mengubah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dengan memberikan hukuman pidana terhadap dua terdakwa (Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella) yang sudah terbukti bersalah, melakukan pembunuhan, tetapi tidak dipidana, dan tidak diberikan hukuman, dan dilepas,” kata Todung.
Dalam kasus pembunuhan di luar proses hukum, atau unlawfull killing terhadap enam anggota Laskar FPI 2020, dua terdakwa, anggota Resmob Polda Metro Jaya, dituntut oleh hakim 6 tahun penjara.
JPU menggunakan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana sebagai dasar sangkaan. Namun dalam putusan PN Jaksel, Jumat (18/3) lalu, majelis hakim menyatakan, perbuatan Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorella melakukan pembunuhan tersebut, atas dasar terpaksa dan pembelaan diri.
Karena itu, menurut hakim PN Jaksel, dua anggota Polda Metro Jaya itu, tak dapat dijatuhi hukuman pidana. “Menyatakan bahwa kepada terdakwa tidak dapat dijatuhi pidana karena ada alasan pembenar dan pemaaf,” begitu petikan putusan PN Jaksel, yang dibacakan Ketua Majelsi Hakim, Arif Nuryanta, Jumat (18/3) lalu.
Atas putusan tersebut, hakim memerintahkan dua terdakwa tersebut, dilepas. “Melepaskan terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum. Dan memulihkan hak-hak terdakwa dan kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya,” begitu ujar hakim.
Namun, pada Rabu (24/8) kemarin, Kapolri Listyo Sigit Prabowo, di hadapan Komisi III DPR RI, membuka wacana untuk mengungkap kembali, dan bersedia membuka penyidikan baru, demi fakta-fakta hukum, dan kebenaran atas kasus pembunuhan di KM 50 Tol Cikampek itu.
Pernyataan dari Jenderal Sigit tersebut, sebagai respons dari publik, pun sejumlah anggota DPR, yang mengaitkan peran Irjen Sambo dalam penyidikan kasus pembunuhan enam anggota Laskar FPI tersebut.
“Apabila ada novum baru, tentunya kami akan memprosesnya,” begitu kata Jenderal Sigit.
Namun, Kapolri juga mengatakan, tim penyidikannya, masih menunggu hasil resmi dari MA, terkait proses kasasi kasus KM 50 tersebut. “Terhadap kasus KM 50 ini, memang masih berproses di pengadilan. Memang sudah ada keputusan, dan kita melihat juga bahwa jaksa saat ini, sedang mengajukan kasasi atas kasus tersebut,” ujar Jenderal Sigit menambahkan.
Keterkaitan antara Irjen Sambo dengan pembantaian di KM 50 tersebut, lantaran perannya sebagai Kadiv Propam, saat Dirtipidum Bareskrim Polri 2021, melakukan penyidikan kasus pembunuhan enam Laskar FPI itu.
Irjen Sambo, sebagai Kadiv Propam pada saat itu, masuk ke dalam fungsi pengawasan, dan analisa pengungkapan kasus tersebut, lantaran para pelaku, dan tersangka pembunuhan dalam kasus itu, adalah para anggota Polri dari Polda Metro Jaya.
Irjen Sambo, menerjunkan 30 personel Propam, untuk memeriksa anggota-anggota kepolisian yang terlibat dalam aksi pengejaran, sampai pada eksekusi para anggota Laskar FPI tersebut.
Akan tetapi, pemeriksaan oleh Div Propam saat itu, tak ditemukan adanya kesalahan prosedur penggunaan senjata api, dan proses penindakan yang dilakukan para anggota Polda Metro Jaya terhadap para pengawal Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab tersebut.
Namun begitu, saat ini, peran Irjen Sambo dalam kasus Laskar FPI tersebut, belakangan dinilai tak bisa dipercaya. Karena saat ini, Irjen Sambo, adalah sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap ajudannya sendiri, yakni Brigadir J.
Bahkan dalam statusnya sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J tersebut, Irjen Sambo mengakui sebagai dalang rekayasa palsu, dan pembuatan skenario palsu, agar kematian Brigadir J tak terungkap. Pun, dalam pengakuannya, Irjen Sambo mengatakan, sebagai otak dari penghambatan proses penyidikan, agar kasus kematian Brigadir J tak terungkap.
Dari pemeriksaan oleh Inspektorat Khusus (Irsus), Irjen Sambo, dinyatakan melakukan pelanggaran etik, karena melakukan menjadi tersangka pembunuhan berencana, dan obstruction of justice atas perusakan barang bukti, dan manipulasi kronologis kematian Brigadir J.
Atas semua tuduhannya itu, pada Kamis (25/8) sidang Komisi Etik dan Profesi Polri (KEPP) memutuskan untuk memecat Irjen Sambo dari keanggotaan kepolisian. Akan tetapi, pemecatan tersebut belum dapat dieksekusi, lantaran Irjen Sambo mengajukan banding.
Sementara terkait statusnya sebagai tersangka pembunuhan, ia dijerat dengan sangkaan Pasal 340 subsider 338 KUH Pidana, juncto Pasla 55, dan Pasal 56 KUH Pidana, dengan ancaman hukuman pidana mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun.
Saat ini, Irjen Sambo masih mendekam di dalam sel tahanan di Mako Brimob, menunggu pemecatan, dan nasib hukumnya di pengadilan.