Libya Masih Memanas Usai Bentrokan Antar Milisi
Libya telah jatuh ke dalam kekacauan selama bertahun-tahun.
REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Milisi berpatroli di jalan-jalan yang hampir sepi di ibu kota Libya pada Ahad (28/8/2022). Sehari sebelumnya telah terjadi bentrokan yang menewaskan lebih dari 30 orang dan mengakhiri ketenangan selama berbulan-bulan di Tripoli.
Pertempuran pecah pada Sabtu (27/8/2022) pagi, mengadu milisi yang setia kepada pemerintah yang berbasis di Tripoli melawan kelompok-kelompok bersenjata lain yang bersekutu dengan pemerintahan saingan. Kelompok tersebut telah berbulan-bulan berusaha untuk duduk di ibu kota.
Warga khawatir pertempuran yang mengakhiri kebuntuan politik selama berbulan-bulan dapat meledak menjadi perang yang lebih luas. Serangan itu bisa mengembalikan puncak konflik Libya yang telah berlangsung lama.
Libya telah jatuh ke dalam kekacauan sejak pemberontakan yang didukung aliansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menggulingkan dan membunuh diktator lama Moammar Gadhafi pada 2011. Daerah kaya minyak itu selama bertahun-tahun telah terpecah antara pemerintahan yang bersaing, masing-masing didukung oleh milisi dan pemerintah asing.
Kebuntuan saat ini tumbuh dari kegagalan untuk mengadakan pemilihan pada Desember dan penolakan Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah untuk mundur. Sebagai tanggapan, parlemen yang berbasis di timur negara itu menunjuk perdana menteri saingan Fathy Bashagha yang selama berbulan-bulan berusaha untuk menempatkan pemerintahannya di Tripoli.
Pertempuran terbaru ini berpusat di pusat kota berpenduduk padat dan melibatkan artileri berat. Ratusan orang terjebak dan rumah sakit, bangunan pemerintah dan perumahan rusak.
Kementerian Kesehatan mengatakan, sedikitnya 32 orang meninggal dunia dan 159 terluka dalam bentrokan tersebut. Di antara yang korban meninggal adalah Mustafa Baraka yang merupakan seorang komedian yang dikenal karena video media sosialnya yang mengejek milisi dan korupsi. Dia dilaporkan ditembak saat siaran langsung di media sosial. Tidak jelas apakah dia telah menjadi sasaran.
Para sanksi menceritakan adegan mengerikan dari banyak orang, termasuk perempuan dan anak-anak, terjebak di rumah, gedung-gedung pemerintah, dan rumah sakit. Mereka juga berbicara tentang setidaknya tiga mayat tak bergerak tertahan di jalan selama berjam-jam sebelum ambulans dapat mencapai daerah itu. Mereka meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut akan pembalasan dari milisi.
"Kami melihat kematian di depan mata kami dan di mata anak-anak kami,” kata seorang perempuan yang terjebak bersama banyak keluarga di sebuah apartemen tempat tinggal. “Dunia harus melindungi anak-anak tak berdosa seperti yang mereka lakukan pada masa Khadafi.”
Milisi yang bersekutu dengan Dbeibah yang berbasis di Tripoli terlihat berkeliaran di jalan-jalan di ibu kota Ahad pagi. Sedangkan menurut media lokal, kelompok saingan melakukan penjagaan di pinggiran kota.
Sebagian besar area kota mengalami pemadaman listrik setiap malam. Beberapa bisnis tutup pada Ahad dan National Oil Corp yang dikelola negara memerintahkan karyawannya untuk bekerja dari jarak jauh pada hari itu.
Warga masih lelah dengan potensi kekerasan dan sebagian besar tinggal di rumah. Banyak yang bergegas ke supermarket untuk membeli makanan dan kebutuhan lainnya ketika bentrokan mereda pada Sabtu malam.
“Itu bisa dipicu dalam sekejap. Mereka (milisi) tidak terkendali,” kata seorang guru sekolah Tripoli yang hanya menyebut sebagian Abu Salim. “Tuntutan kami sangat sederhana: kehidupan normal.”
Pemerintah Dbeibah mengklaim pertempuran dimulai ketika seorang anggota milisi saingan menembaki patroli milisi lain di Jalan Zawiya Tripoli. Tembakan itu diklaim terjadi di tengah mobilisasi kelompok sekutu Bashagha di sekitar ibu kota. Klaim tidak dapat diverifikasi secara independen.
Bentrokan milisi cukup sering terjadi di Tripoli. Bulan lalu, sedikitnya 13 orang meninggal dalam pertempuran milisi. Pada Mei, Bashagha berusaha untuk menempatkan pemerintahannya di Tripoli, memicu bentrokan yang berakhir dengan penarikan pasukannya dari kota. Dwina Agustin/ap