'Argumentasi Kemendikbudristek Soal Hilangnya Tunjangan Profesi Guru tak Berdasar Hukum'

Kemendikbudristek tak mampu menunjukkan pasal soal guru mendapat penghasilan layak.

ANTARA/Henry Purba
Sejumlah pelajar dan mahasiswa berunjuk rasa menolak RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/8/2022). Mereka meminta pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan RUU Sidiknas masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2023 karena penyusunannya dinilai kurang transparan.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengatakan, pernyataan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang merespons hilangnya tunjangan profesi guru (TPG) sama sekali tidak merujuk pada naskah Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). P2G melihat hal itu karena tidak ada satu pasal pun yang dirujuk dan dikutip Kemendikbudristek.

"Tidak satupun pasal yang dirujuk dan dikutip oleh pernyataan dalam siaran pers. Artinya, argumentasi dan penjelasan yang disampaikan terkait dihilangkannya pasal TPG dalam RUU Sisdiknas tidak berdasar hukum yang jelas, terkesan statement politis belaka, ketimbang penjelasan secara hukum," ujar Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, kepada Republika.co.id, Selasa (30/8/2022).

Iman mengatakan, pihaknya menemukan ketidaksinkronan antara pernyataan Kemendikbudristek dengan batang tubuh RUU Sisdiknas. Dimana, pihak Kemendikbudristek menyatakan guru akan mendapatkan penghasilan yang layak, tapi mereka tidak menunjukkan pasal dan ayat mana yang dapat membuktikan hal tersebut. P2G melihat tidak adanya kata layak dalam naskah RUU Sisdiknas.

"Mana pasalnya? Di mana ada pernyataan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas bahwa guru dijamin mendapat 'penghasilan layak'? Di mana ada kata layak?" kata Iman.

Hal itu, kata dia, jelas berbanding terbalik dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 14 ayat (1) dijelaskan, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Lalu pasal 15 ayat (1) menjelaskan lebih lanjut tentang itu.

Pasal tersebut menjelaskan, penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum itu meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, serta penghasilan lain berupa tunjangan profesi, tunjangan fungsional, tunjangan khusus, dan maslahat tambahan yang terkait dengan tugasnya sebagai guru yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi.

"Pertanyaannya, apa bukti nyata RUU Sisdiknas membawa berita baik? Sementara itu pasal tentang 'Tunjangan Profesi Guru, Tunjangan Fungsional, dan maslahat lainnya' tidak lagi dimuat eksplisit sebagaimana yang tercantum dalam UU Guru dan Dosen yang mengatur 'hak guru' secara eksplisit dan sangat rinci," kata dia.

Dalam UU Guru dan Dosen ada enam pasal yang mengatur hak guru, mulai dari pasal 14 sampai dengan pasal 19. Berbanding terbalik dengan RUU Sisdiknas, hak guru hanya diatur dalam satu pasal, yakni pasal 105 saja. Menurut Iman, itu sangat bertolak-belakang dengan UU Guru dan Dosen yang cukup lengkap dan detil mengatur hak guru.

"Dapat disimpulkan, RUU Sisdiknas sangat buruk dalam mengatur hak-hak guru, ini sebuah langkah mundur dalam tata kelola guru," tegas Iman.

Sebelumnya, Kemendikbudristek merespons isu hilangnya pasal tunjangan profesi guru dalam RUU Sisdiknas. Menurut Kemendikbudristek, yang terjadi justru aturan tersebut akan memuat upaya agar semua guru mendapatkan penghasilan yang layak.

"RUU Sisdiknas mengatur, guru yang sudah mendapat tunjangan profesi melalui proses sertifikasi, baik itu guru ASN, non-ASN akan tetap mendapat tunjangan tersebut hingga pensiun. Sepanjang tentunya mereka memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujar Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbudristek, Iwan Syahril, dalam konferensi pers daring, Senin (29/8/2022).

Dia menerangkan, saat ini ada 1,6 juta guru yang masih belum mendapat kesejahteraan melalui pendidikan profesi guru (PPG). Di mana, menurut Iwan, lewat jalur itulah para guru akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Saat ini, mereka masih menunggu antrean untuk mengikuti PPG. Antrean yang panjang sebanyak 1,6 juta guru itu dia sebut akan memakan waktu lama untuk dapat menyelesaikannya.

"Antreannya 1,6 juta panjang sekali dan perlu waktu lama yang untuk menyelesaikannya. Jadi artinya peningkatan kesejahteraan mereka pun juga tidak bisa berjalan dengan cepat. RUU Sisdiknas mengatur bahwa bagaimana kita memikirkan solusi terhadap masalah tersebut," jelas dia.

Iwan menjelaskan, untuk guru ASN yang belum tersertifikasi, lewat RUU Sisdiknas akan mendapatkan penghasilan yang lebih baik melalui peraturan yang ada di dalam UU Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka akan mendapatkan kenaikan pendapatan melalui tunjangan yang diatur dalam UU ASN tanpa harus menunggu antrean yang masih panjang tersebut.

Sementara itu, untuk guru guru non-ASN, mereka akan mendapatkan tambahan penghasilan melalui peningkatan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dengan demikian, kata Iwan, yayasan penyelenggara pendidikan dapat memberikan tunjangan yang lebih tinggi kepada guru sesuai dengan UU Ketenagakerjaan dan insentif-insentif yang dikira perlu oleh yayasan.

"Pada intinya, pengaturan yang diusulkan oleh RUU Sisdiknas ini adalah bagaimana agar guru-guru kita, yang sudah mendapatkan peningkatan penghasilan itu tetap dijamin sampai mereka pensiun, dan yang belum, yang 1,6 juta itu bisa segera mendapatkan peningkatan penghasilan. Sehingga kesejahteraan mereka akan jadi lebih baik tanpa menunggu antrean panjang," jelas Iwan.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler