UNHCR dan IOM Diminta Penuhi Hak Pengungsi

Peran masyarakat juga penting dalam mengatasi isu pengungsi atau pencari suaka.

ANTARA/Rahmad
Pengungsi etnis Rohingya beristirahat di balai Desa Alue Buya Pasie, Jangka, Kabupaten Bireun, Aceh, Senin (7/3/2022). Sebanyak 114 orang etnis Rohingya yang terdiri dari 58 laki-laki, 21 perempuan dan 35 anak-anak yang terdampar di perairan Jangka Bireuen pada Minggu (6/7/2022) itu masih menunggu rapat koordinasi antara UHNCR, IOM dengan pemerintah daerah terkait relokasi etnis Rohingya ke tempat penampungan sementara di Aceh.
Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisariat Tinggi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) sebagai badan yang menangani isu pengungsi memiliki mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, pemenuhan hak serta penetapan status pengungsi.

Baca Juga


"Dalam hal ini, UNHCR dan IOM sebagai agensi yang menangani isu pengungsi memiliki mandat untuk melakukan penanganan, pelindungan, pemenuhan hak serta penetapan status pengungsi," ujar Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia Arivia Tri Dara Yuliestiana kepada Antara di Jakarta, Selasa (30/8/2022).

Dosen Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia itu mengatakan UNHCR dan IOM dapat turut memberikan laporan dan penilaian secara berkala terhadap komitmen Negara Pihak dalam menjalankan Konvensi Internasional tentang Pengungsi.

"Kerja sama penanganan pengungsi menjadi tidak terelakkan antara pemerintah dan agensi internasional," kata dia.

Selain organisasi internasional, kata Arivia, peran masyarakat sipil juga sangat penting dalam mengatasi isu pengungsi atau pencari suaka. "Seperti halnya mendorong pemerintah untuk dapat memiliki kerangka regulasi atau tata kelola pengungsi yang lebih memadai dalam ranah hukum nasional untuk menjamin penghidupan para pencari suaka meskipun bukanlah penanda tangan Konvensi Pengungsi," ujar dia.

Ia mengatakan Indonesia bukan penanda tangan dari Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi sehingga tidak memiliki kewajiban dalam menentukan status pengungsi.

"Dalam hal ini tentu kita harus kembali pada realitas yang ada bahwa Indonesia bukan penanda tangan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi sehingga tidak memiliki kewajiban dalam menentukan status pengungsi," kata Arivia.

Berdasarkan laporan UNHCR setidaknya jumlah pengungsi di Indonesia mencapai 13.273 orang dengan pengungsi terbanyak berasal dari Afghanistan, yakni 7.458 orang. Kendati demikian, Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional harus tetap berpegang teguh pada prinsip non-refoulement sebagai prinsip fundamental yang telah diatur dalam Hukum Internasional.

Prinsip tersebut mengatur baik Negara Pihak maupun Non-pihak untuk menjamin perlindungan dan bantuan kemanusiaan serta menolak repatriasi selama tidak ada jaminan keselamatan bagi para pengungsi jika mereka kembali ke negara asal.

Komitmen pemerintah Indonesia dalam konteks politik domestik terhadap persoalan pengungsi juga tertuang pada Perpres Nomor 125/2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, kata dia. Dalam konteks politik internasional saat ini, lanjut Arivia, Australia sebagai negara ketiga atau negara tujuan pengungsi memperketat dan mengurangi jumlah kuota pengungsi.

Terlebih lagi dengan adanya kebijakan turn back the boats yang dijalankan oleh pemerintah Australia semakin memperkecil peluang pengungsi untuk dapat ke negara tujuan karena alasan keamanan (state-security) meskipun kebijakan ini telah diprotes oleh organisasi HAM internasional.

"Hal inilah yang kemudian menjadi problematika tersendiri ketika kita membahas tentang persoalan pengungsi Afghanistan di Indonesia yang sudah terkatung-katung bahkan hingga sepuluh tahun lamanya," ujar dia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler