Akhir Kematian Elite Fatimiyah Mesir yang Bersekutu dengan Pasukan Salib
Elite Fatimiyah Mesir bersekutu dengan Perang Salib untuk kepentingan kekuasaan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Selama periode Fatimiyah di Mesir, Fustat mencapai masa keemasan, terutama dalam bidang perekonomian.
Menurut Ahmad Rofi' Usmani dalam Jejak-jejak Islam (2015), kota yang berusia jauh lebih tua daripada Kairo itu dihuni penduduk kelas menengah dan atas.
Umumnya, mereka tinggal di rumah-rumah bertingkat yang terdiri atas tiga hingga tujuh lantai. Satu gedung dapat menampung lebih dari 300 orang.
Biasanya, pemilik bangunan-bangunan itu adalah para pedagang kaya, sedangkan penyewa kamar-kamar di dalamnya merupakan kaum pekerja.
Keadaan Fustat dan Kairo tidak lagi sama sejak Perang Salib melanda. Rangkaian pertempuran itu tidak hanya menimbulkan kerugian materiel, tetapi juga krisis politik yang dahsyat bagi Fatimiyah.
Pada 1163 M Pasukan Salib mulai memasuki wilayah dinasti tersebut. Waktu itu, pamor sultan Fatimiyah tidak lebih baik daripada wazirnya yang bernama Syawar bin Mujir as-Sa'adi.
Sang perdana menteri lalu meminta bantuan negeri jiran terdekat, Wangsa Zankiyah, yang berpusat di Damaskus.
Syam ketika itu dipimpin Nuruddin Mahmud, putra pendiri Zankiyah Imaduddin Zanki. Dia memiliki seorang panglima militer yang bernama Asaduddin Syirkuh.
Saat Salibis membuat kekacauan di Mesir, Nuruddin menerima permintaan dari Syawar bin Mujir. Maka, berangkatlah jenderal kebanggaannya itu ke Kairo.
Syirkuh pergi ke sana dengan didampingi keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, yang saat itu masih berusia 26 tahun.
Sesampainya di tujuan, Syawar justru cenderung memanfaatkan kedatangan mereka demi menyingkirkan lawan-lawan politiknya.
Hal itu tidak disukai sang panglima perang Zankiyah. Di kemudian hari, perdana menteri Fathimiyah itu berkonflik dengan sekutu Muslimnya tersebut.
Untuk menghadapi Syirkuh, Syawar bekerja sama dengan Raja Amalric I dari Kerajaan Kristen Yerusalem.
Pada 1164 pasukan Amalric merangsek masuk ke Mesir untuk bergabung dengan kelompok pendukung Syawar.
Pada Agustus hingga Oktober tahun yang sama, mereka mengepung benteng Syirkuh di Bilbais.
Mengetahui kabar pengepungan itu, Nuruddin bergerak memimpin pasukannya dari Damaskus. Ke arah selatan, penguasa Zankiyah itu menyerang sejumlah kerajaan Kristen di bumi Palestina, termasuk Antiokia.
Bahkan, Pangeran Antiokia Bohemond III dapat ditawannya. Amalric langsung meninggalkan Bilbais untuk membantu Antiokia dalam membendung kekuatan militer Nuruddin.
Hingga akhir 1164, kekacauan mulai mereda secara de facto di Mesir. Dua tahun kemudian, Syirkuh melakukan serangan balik.
Untuk menghadapinya, Syawar lagi-lagi bersekutu dengan Amalric. Pada Januari 1167, perang antara kedua belah pihak itu merembet hingga ke perbatasan Kairo. Dalam palagan ini, kubu Yerusalem dapat dihalau mundur.
Kemudian, Amalric kembali lagi dengan membawa pasukan dalam jumlah yang lebih besar.
Terdesak, Syawar kali ini meminta bantuan pihak Syirkuh untuk melindungi Mesir. Bagaimanapun, Fustat sudah tidak lagi bisa dipertahankan. Karena itu, sang wazir Fatimiyah memerintahkan rakyat untuk membumihanguskan kota tersebut agar tidak ada tersisa ketika pasukan Yerusalem mendudukinya.
Inilah awal dari rontoknya kepercayaan masyarakat pada Dinasti Fathimiyah. Mereka cenderung mendukung Zankiyah yang direpresentasikan Syirkuh.
Setelah sukses mengusir pasukan Amalric dari Mesir, pada Januari 1169, Kairo secara de facto dikuasai jenderal Kurdi tersebut.
Syawar ditangkap untuk kemudian dieksekusi mati sebagai seorang pengkhianat.
Kemenangan Syirkuh disambut sukacita penduduk Mesir. Walaupun Fatimiyah bermazhab Syiah, mayoritas rakyat setempat masih menganut Sunni.
Dengan perkataan lain, mereka secara ideologis sejalan dengan Zankiyah. Dua bulan saja Syirkuh menikmati popularitas di Negeri Piramida.
Dia wafat pada Februari 1169 akibat sakit. Keponakannya, Shalahuddin, kemudian naik menjadi penggantinya.