RKUHP Dirasa Masih Belum Partisipatif

Sangat dimungkinkan hukum terkontaminasi praktek politik.

Republika/Wihdan Hidayat
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi UII, Muhammad Saleh memberikan paparan saat Bincang Sore Republika di Yogyakarta, Rabu (7/9/2022). Pada bincang sore kali ini membahas terkait polemik pengajuan RKUHP ke DPR RI. Yang disoroti salah satunya tentang draf delik penghinaan Presiden.
Rep: Wahyu Suryana Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,SLEMAN -- Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapat sorotan. Pemerintah merasa RKUHP relatif siap untuk diberlakukan mengingat sudah dibahas kurang lebih selama 59 tahun dengan melibatkan pakar, akademisi dan masyarakat.

Baca Juga


Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Universitas Islam Indonesia (UII), Muhammad Saleh mengatakan, kritik demi kritik terhadap RKUHP yang selama ini ada kerap bertepuk sebelah tangan. Artinya, kritik tidak berbalas jawaban.

Misalnya, penolakan dari LBH-LBH seluruh Indonesia terhadap delik terkait penghinaan presiden yang dirasa sudah sangat tidak relevan. Tapi, lagi-lagi, kritik yang disampaikan berbagai elemen masyarakat belum memperoleh jawaban.

Padahal, minimal terhadap masukan-masukan yang ada pemerintah harus memberi respon. Karenanya, ia mengingatkan, RKUHP belum sepenuhnya partisipatif dan belum menerapkan prinsip meaningful participation seperti yang diamanatkan MK.

"Kita belum melihat apakah respon dari masyarakat, entah itu kritik atau respon positif itu diberi respon balik pembentuk UU, dalam hal ini pemerintah dan DPR," kata Saleh dalam diskusi bertajuk RKUHP dalam Sorotan: Partisipasi Publik dan Kebutuhan Pembaharuan Hukum Nasional yang diselenggarakan Republika, Rabu (7/9).

Ia berpendapat, hukum sendiri tidak pernah independen, tidak determinan terhadap politik dan tidak steril. Secara perspektif sosio legal, hukum tidak berada dalam ruang hampa, berelasi dan saling berjumpa dengan fakta sosial dan fakta politik.

Maka itu, sangat dimungkinkan hukum terkontaminasi praktek politik. Selain itu, kuasa modal bukan sesuatu yang tabu di Indonesia terhadap pembentukan UU. Salah satu contoh paling nyata tidak lain pembentukan UU Cipta Kerja (Omnibus Law).

Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja minim partisipasi, prosedur yang tidak tepat dan berparadigma yang liberalisme. Ini membuktikan kalau kuasa modal dalam pembentukan UU tidak tabu di Indonesia.

PP Muhammadiyah pernah pula mengajukan Judicial Review terhadap UU Minerba, UU Migas dan UU Air yang spiritnya korporatisasi. Ini jadi salah satu bukti adanya tren buruk legislasi belakangan yang dibentuk dengan rezim yang sangat promodal.

Data Tempo ada 45 persen anggota DPR RI pengusaha, artinya ada 262 anggota DPR RI pengusaha. KPK merilis pula Indonesia salah satu negara dengan biaya politik yang cukup tinggi, sehingga pembiayaan yang cukup tinggi terhadap politik lokal.

"Diikuti dengan 45 persen anggota DPR RI kita pengusaha itu membuat hukum itu tidak netral terhadap politik, bahkan hukum kita saat ini tidak netral terhadap rezim ekonomi. Jadi, ekonomi determinan terhadap hukum dan politik kita," ujar Saleh dalam diskusi yang  dimoderatori pegiat literasi, Khairul Anam, tersebut.

Artinya, Saleh menekankan, proses pembentukan hukum tidak ada dalam ruang hampa, sehingga jangan dibayangkan steril dari kondisi sosial dan politik. Tapi, malah sangat dimungkinkan pembentukan hukum itu ditunggangi berbagai kepentingan.

"Karena itu, kehadiran partisipasi masyarakat secara meluas untuk meminimalisir potensi penumpang gelap di tengah jalan. Keterbukaan itu penting agar kita bisa memastikan regulasi baik secara prosedur maupun secara substansi," kata Saleh. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler