PDIP Klaim Tingkat Kepuasan Terhadap Jokowi Lebih Baik daripada Era SBY
Anggota DPR dari PDIP mengeklaim kepuasan terhadap Jokowi lebih baik daripada era SBY
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo mengalami penurunan sejak pemerintah meresmikan kenaikan harga BBM. Tingkat kepuasan publik sebelum kenaikan BBM atau pada Agustus sebesar 72,3 persen kemudian turun menjadi 62,6 persen setelah kenaikan BBM pada September.
Menurut anggota DPR RI Fraksi PDIP, Andian Napitupulu, bila dibandingkan dengan tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi lebih unggul.
Dijelaskan dia, menjelang akhir masa jabatannya, kepuasan terhadap Jokowi menurut Indiaktor sebesar 62,6 persen, sedangkan kepuasan pada periode SBY tahun 2013 itu menurut SMRC sekitar 55,8 persen dan menurut LSI 35,9 persen.
“Artinya bahwa diperiode menjelang akhir masa jabatan, kalau kita bandingkan akhir masa jabatan periode SBY dengan Jokowi ditengah naiknya harga BBM ini saya lihat masih tinggi Jokowi,” kata Adian dalam paparan bersama Indikator melalui zoom, Ahad (18/9).
“Jadi kalau dibandingkan head to head seperti itu masih lebih bagus Jokowi hari ini,” tegasnya lagi.
Ia menjelaskan, bahwa kenaikan harga BBM ini bukan kali pertama terjadi. Menurutnya, sejak Republik Indonesia berdiri, harga BBM sudah mengalami kenaikan sebanyak 37 kali dan di era pemerintahan Jokowi, mengalami tujuh kali kenaikan harga BBM.
“Tapi secara presentase, kenaikan dibandingkan pemerintahan SBY itu menaikkan sekitar 254 persen dalam 10 tahun, sementara Presiden Jokowi menaikan dalam presentase 54 persen,” kata dia.
“Kalau secara angka, total kenaikan BBM di era Presiden SBY Rp 4.690 sementara di era presiden Jokowi kenaikan BBM itu Rp 3.500, jadi secara angka masih lebih mahal kenaikan BBM secara total di pemerintahan SBY sebesar Rp 1.190 dibandingkan zaman Jokowi,” kata dia.
Menurutnya, jika perbandingan-perbandingan itu turut disampaikan kepada publik secara masif, mungkin akan berpengaruh terhadap opini publik.
“Kelemahan kita mungkin tidak menyampaikan perbandingan-perbandingan itu secara massif sehingga berpengaruh pada opini publik yang disurvei tadi. Ya tidak masalah juga, karena pemerintahan ini tidak mungkin mampu memuaskan secara bersamaan,” ujar dia.