Senator DPD: OTT Hakim Agung MA Itu Kiamat Dunia Peradilan

Terjadi kegagalan reformasi peradilan di Indonesia

ANTARA/M Risyal Hidayat
Hakim Agung Mahkamah Agung (MA) Sudrajad Dimyati (kiri) dengan mengenakan rompi tahanan memasuki mobil tahanan di Gedung Merah Putih, KPK, Jakarta, Jumat (23/9/2022). Sudrajad Dimyati ditahan KPK usai menjalani pemeriksaan dan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung, yang sebelumnya KPK telah menahan tujuh dari sepuluh tersangka dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Rabu (21/9/2022) dengan barang bukti uang 205.000 Dollar Singapura dan Rp50 juta.
Rep: muhammad subarkah Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Senator DPD Dr Abdul Kholik mengatakan saat ini Mahkaham Agung gagal melakukan reformasi penegakkan hukum di Indonesia. Ini terbukti dengan terus berulangnya kasus penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan peradilan. Terakhir terjadi dengan kasus tertatangkap tangannya seorang hakim agung oleh KPK terkait suap penanganan perkara di lembaga tinggi negara tersebut.


"Saya merasa schok dan merasa prihatin atas kasus ini karena Mahkamah Agung (MA) adalah benteng terakhir bagi para pencari keadilan. Ternyata di puncak lembaga peradilan malah terjadi penyalahgunaan wewenang. Ini tidak bisa diteloransi dengan alasan apa pun sehingga harus ditindak tegas dan dihukum seberat-beratnya,'' kata Abdul Kholik, dalam perbincangan pada Kamis pagi, di Jakarta, (29/9/2022).

Menurut Kholik, kasus ini menunjukan betapa di lembaga yang berisi para wakil Tuhan telah kehilangan marwah dan meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada dunia keadilan. Bahkan ini bisa dikatakan layaknya terjadi kiamat di lembaga puncak peradilan.

''Ini pertama kali seorang hakim agung terkena operasi tangkap tangan KPK. Meskipun juga sebelumnya terjadi adanya pejabat tinggi kesekejenan di MA  yang terlibat kasus hukum di KPK. Maka peristiwa ini merupakan puncak dari berbagai kasus yang selama ini terjadi di tingkatan peradilan baik pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi,'' tegas Kholik yang merupakan anggota bidang hukum DPD RI.

Kenyataan itu, lanjutnya, jelas merupakan pengingkaran amanat reformasi yang salah satunya adalah menghendaki dibersihkannya lembaga peradilan di Indonesia. Ibaratnya, bila MA tidak bersih maka laksana hanya seperti sapu kotor yang tidak membersihkan bangsa ini dari cengkeraman korupsi. "Karena itu saya maklumi bila Presiden Jokowi kecewa dengan upaya pemberantasan korupsi yang sering mandek di sektor peradilan. Misalnya vonisnya ringan, banyak remisi sehingga tidak menimbulkan efek jera."

''Untuk mengatasi masalah tersebut memang harus segera dilakukan langkah revolusioner untuk melakukan evaluasi total lembaga peradilan tersebut. Jika diperlukan presiden sebagai kepala negara perlu membentuk tim independen yang berasal dari berbagai pihak untuk mencari solusi bagi tegaknya wibawa lembaga peradilan hukum Indonesia," tandas Abdul Kholik.

 


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler