Restorative Justice tidak Bisa Diterapkan dalam Kasus Tipikor

UU Tipikor menetapkan pengembalian aset atau uang tak menghapuskan hukuman

Republika/Prayogi
Sejumlah Anggota DPR mengikuti Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023 di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (29/9/2022). Dalam rapat Paripurna tersebut DPR antara lain mengesahkan Johanis Tanak sebagai Pimpinan baru KPK dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) APBN TA 2023 menjadi UU APBN TA 2023.Prayogi/Republika
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terpilih, Johanis Tanak mewacanakan penerapan restoratif justice pada kasus tindak pidana korupsi (tipikor). Anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani, mengatakan restorative justice tidak bisa diterapkan dalam kasus tipikor, apalagi kasus tipikor menyangkut suap kepada penyelenggara negara.

"UU Tipikor sendiri menetapkan bahwa pengembalian aset atau uang yang merupakan hasil tipikor tidak menghapuskan hukuman," kata Arsul kepada Republika, Kamis (29/9/2022).

Namun demikian, Arsul menjelaskan, pendekatan model restorative justice terbuka untuk dipertimbangkan untuk kasus-kasus tertentu yang menyangkut kerugian negara dan persoalan mal administrasi dari pada unsur tipikor yg bersifat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Ia mencontohkan, misalnya ternyata terjadi pembayaran berlebih atau salah menghitung tanpa unsur kesengajaan dan kongkalikong sehingga merugikan keuangan negara.

"Jadi hanya dalam situasi-situasi tertentu yang terbatas dan tanpa adanya niat atau mens rea melakukan korupsi, apalagi jumlahnya yang dianggap sebagai kerugian negara kecil, maka hemat saya bisa dipertimbangkan," ucapnya.

Sebelumnya dalam uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK pengganti Lili Pintauli Siregar, Johanis Tanak mewacanakan penggunaan restorative justice atau keadilan restoratif dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjelaskan, pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Sehingga penghentian penyidikan dan penuntutan perkara korupsi karena alasan telah mengembalikan kerugian negara merupakan alasan yang tidak tepat.

"Namun hal itu (restorative justice) sangat dimungkinkan berdasarkan teori ilmu hukum yang ada bahwasanya peraturan yang ada sebelumnya di kesampingkan oleh peraturan yang ada setelah itu," ujar Johanis di Ruang Rapat Komisi III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (28/9/2022).

"Di mana, kalau saya mencoba menggunakan restorative justice dalam korupsi, saya akan menggunakan adalah UU tentang BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)," ujarnya.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler