Studi: Covid-19 Bisa Serang DNA di Jantung
Infeksi Covid-19 dapat memicu komplikasi masalah jantung terus-menerus.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Infeksi virus SARS-CoV-2 dapat memicu komplikasi berupa masalah jantung yang terus-menerus. Kecenderungan ini mungkin berkaitan dengan kemampuan Covid-19 dalam menyebabkan kerusakan DNA pada jantung.
Pengaruh Covid-19 pada DNA di jantung ini diungkapkan oleh sebuah studi terbaru dalam jurnal Immunology. Melalui studi ini, tim peneliti memeriksa jantung dari pasien-pasien yang meninggal dunia akibat Covid-19, flu, dan penyebab lainnya.
"Kami menemukan banyak kerusakan DNA yang hanya terjadi pada pasien Covid-19, dan tidak terlihat pada pasien flu," jelas peneliti dari University of Queensland, Arutha Kulasinghe, seperti dilansir WebMD.
Sebanyak tujuh pasien dalam studi ini meninggal akibat Covid-19, dua meninggal akibat flu, dan enam meninggal akibat penyebab lainnya. Selama studi berlangsung, tim peneliti menggunakan transcriptomic profiling untuk melihat landscape DNA jantung agar bisa menginvestigasi jaringan jantung pasien.
Mengacu pada studi-studi sebelumnya, tim peneliti berekspektasi akan menemukan peradangan yang ekstrim pada jantung pasien Covid-19. Namun, yang mereka temukan justru sebaliknya. Tim peneliti menemukan bahwa sinyal peradangan di jantung tampak rendah, sedangkan penanda kerusakan dan perbaikan DNA terlihat lebih tinggi.
"Indikasinya di sini adalah ada kerusakan DNA di sini, ini bukan peradangan. Ada hal lain yang terjadi dan kita perlu mengetahuinya," ujar Kulasinghe.
Kerusakan ini mirip seperti kerusakan yang ditemukan akibat penyakit kronis seperti diabetes dan kanker. Jaringan jantung pada pasien-pasien penyakit kronis juga menunjukkan sinyal kerusakan DNA.
Kulasinghe berahrap studi-studi selanjutnya bisa dilakukan untuk memahami pasien seperti apa yang berisiko lebih tinggi terhadap komplikasi Covid-19 serius. Dengan begitu, dokter bisa memberikan terapi pengobatan dini agar pasien berisiko bisa terhindar dari komplikasi.
Selain itu, Kulasinghe mengatakan studi yang dia dan timnya lakukan masih merupakan studi awal. Alasannya, jumlah sampel yang digunakan dalam studi ini relatif kecil. Studi seperti ini cukup sulti dilakukan karena tim peneliti harus menungg ketersediaan organ dan juga izin dari pihak keluarga agar bisa melakukan otopsi dan bipsi post mortem.
"Yang kami temukan adalah perbedaan yang sangat mendasar (antara Covid-19 dan flu), yang kami perlu validasi kembali dalam studi berskala lebih besar," kata Kulasinghe.