Kemenlu Dorong Perusahaan Farmasi Indonesia Investasi di Afrika
Saat ini sekitar 70-90 persen produk farmasi di Afrika Sub Sahara berasal dari impor.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Luar Negeri RI, melalui acara Indonesia-Africa Health and Investment Meeting, mendorong perusahaan farmasi Indonesia untuk berinvestasi di Afrika. "Pandemi Covid-19 memberikan pelajaran berharga bagi kita semua mengenai pentingnya kerja sama global membangun infrastruktur kesehatan," kata Direktur Afrika KemenluRI Dewi Justicia Meidiwaty pada pembukaan acara tersebut, menurut keterangan Kemenlu RI pada Jumat (7/10/2022).
Pada kesempatan itu, dia juga mengatakan Indonesia siap berkontribusi memenuhi kebutuhan produk kesehatan masyarakat Afrika. Pertemuan investasi itu berlangsung selama dua hari, pada 4-5 Oktober, dan diikuti oleh puluhan peserta dari kalangan kedutaan besar negara-negara Afrika Sub-Sahara untuk Indonesia serta perwakilan perusahaan bidang kesehatan dari Indonesia dan Afrika.
Kegiatan tersebut, kata Kemenlu, bertujuan untuk mengeksplorasi kesempatan kerja sama di bidang kesehatan dan mendorong investasi perusahaan-perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang kesehatan untuk masuk ke pasar Afrika.
Dewi Justicia Meidiwaty, yang biasa disapa Meidy, menjelaskan bahwa saat ini banyak negara, termasuk di Afrika, giat membangun ketahanan kesehatan nasionalnya. Namun, ujarnya, negara-negara yang rentan terancam tidak bisa menerima pasokan vaksin dan obat-obatan secara tepat waktu dan harus memiliki saluran untuk menyuarakan keprihatinannya mengenai kondisi tersebut.
Pembicara dari Nigeria Everest Okeakpu, Project Manager dari perusahaan Biovaccines Nigeria Limited, menyampaikan bahwa pandemi Covid-19 menunjukkan Afrika sebagai salah satu kawasan yang paling rentan terhadap ancaman keamanan kesehatan. "Pandemi Covid-19 juga menjadi bukti keterbatasan kemampuan industri kesehatan dari mayoritas negara Afrika dalam mengatasi pandemi," ungkapnya.
Pada saat yang bersamaan, menurut Okeakpu, negara-negara Afrika menghadapi berbagai penyakit yang juga memerlukan penyediaan obat-obatan, vaksin, alat kesehatan, dan layanan medis bagi masyarakat. Dia menyebutkan bahwa kebutuhan produk farmasi terbesar di kawasan Afrika didominasi oleh produk ARV untuk mengatasi HIV AIDS.
Sementara, obat-obatan untuk penyakit tidak menular seperti malaria, diabetes, darah tinggi, dan kanker juga mulai memperlihatkan kenaikan permintaan. Saat ini, sekitar 70-90 persen produk farmasi di Afrika Sub Sahara berasal dari impor.
Selain itu, mayoritas kepemilikan di industri farmasi di Afrika dikuasai oleh perusahaan multinasional. Negara terbesar pemasok produk farmasi ke Afrika Sub-Sahara adalah negara-negara Uni Eropa, Amerika Serikat, India, dan China.
Sementara, investor terbesar sektor farmasi di kawasan Afrika berasal dari Uni Eropa, Inggris, dan India. "Perusahaan farmasi Indonesia pun telah memiliki keberadaan yang cukup kuat di kawasan Afrika, utamanya di Nigeria," kata Meidy.
Dia menyebutkan bahwa perusahaan farmasi Indonesia, seperti Dexa Medica, Kalbe, Kimia Farma, dan Sanbe juga telah membuka kantor perwakilan di Lagos, Nigeria. Biofarma juga telah menjadi penyedia vaksin polio bagi UNICEF untuk negara-negara di Afrika.
Selain itu, kata dia, beberapa produk vitamin dan minuman berenergi dari Indonesia juga telah mendapat pangsa pasar di berbagai negara di Afrika. "Dengan kata lain, Afrika bukan merupakan kawasan yang asing untuk perusahaan farmasi Indonesia, dan masih banyak yang bisa dieksplorasi dari kerja sama kesehatan antara Indonesia dan Afrika," ujarnya.
Kemenlu Indonesia menyebutkan bahwa dukungan untuk mendorong kerja sama kesehatan antara Indonesia dengan negara-negara di Afrika juga telah disandingkan dengan pemberian hibah obat-obatan kepada Mozambik dan Zimbabwe pada 2021. "Hibah obat-obatan sebesar Rp2,1 miliar diberikan dalam rangka mendukung penanganan topan Idai ke Mozambik dan Zimbabwe. Saat ini, pemerintah RI juga tengah mempersiapkan proses pemberian hibah vaksin ke Nigeria," kata Kemenlu dalam keterangannya.