Amnesty Catat 316 Kasus Penyalahgunaan UU ITE

Amnesty Internasional Indonesia menemukan sejumlah pasal dalam UU ITE sangat ambigu.

Dokumentasi Pribadi
Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andi Nur Aminah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty Internasional Indonesia mengungkapkan 328 kasus serangan fisik dan serangan digital yang diarahkan pada kebebasan sipil sepanjang 2019-2022. Salah satu sebab maraknya serangan kebebasan sipil disebut karena penyalahgunaan sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Baca Juga


Amnesty mengkritisi UU ITE yang pertama berlaku pada 2008 dan diamendemen pada 2016. Amnesty menemukan sejumlah pasal dalam UU ITE sangat ambigu sehingga sering digunakan sebagai dasar pelaporan polisi. Bahkan penangkapan dan penahanan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.

"UU ITE telah digunakan untuk mengadili, dan dalam banyak kasus, menghukum beragam orang seperti jurnalis yang melaporkan kasus korupsi, akademisi yang mengkritik kebijakan universitas, dan konsumen yang membuat ulasan kritis," kata Usman Hamid, direktur Amnesty International Indonesiadalam keterangan pers yang dikutip pada Sabtu (8/10/2022). 

Amnesty mencatat, setidaknya 316 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi sepanjang Januari 2019-Mei 2022. Dari jumlah itu menyebabkan total setidaknya 332 korban.

"Bahkan, ketika tidak ada yang dijadikan tersangka sekalipun, ancaman pidana telah digunakan untuk mengintimidasi pengkritik pemerintah," ujar Usman.

 

Pada Februari 2021, setelah adanya serangkaian kritik publik terhadap UU ITE, termasuk oleh mantan pejabat pemerintah, Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaannya untuk merevisi pasal-pasal bermasalah yang terkandung dalam UU tersebut. Pemerintah lalu mengajukan draf revisi UU secara terbatas pada Desember 2021 ke DPR, tetapi sejak itu belum ada pembahasan secara publik.

Pada Mei 2022, pemerintah melanjutkan pembahasan draf revisi RKUHP yang sebelumnya ditangguhkan karena protes publik yang meluas pada 2019. Pasal bermasalah RKUHP, seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal yang memidana demonstrasi tanpa izin, akan membatasi kebebasan sipil. Terlepas dari kritikan publik atas pasal bermasalah ini dan kurang terbukanya partisipasi publik dalam proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR tetap berencana untuk mengesahkan RKUHP draft baru sebelum akhir tahun ini.

“Alih-alih merevisi UU yang telah banyak disalahgunakan untuk membatasi hak, termasuk kebebasan berekspresi, sikap pemerintah dan DPR justru berpotensi melanggengkan pasal otoriter semacam ini,” ucap Usman.

Selain penggunaan UU yang represif, pembatasan ruang sipil juga datang dalam bentuk penindasan polisi dan penggunaan kekuatan yang berlebihan terhadap pengunjuk rasa.

 

Antara 2019 hingga 2021, terdapat beberapa demonstrasi mahasiswa yang besar dan meluas terkait kebijakan pemerintah, termasuk protes atas RKUHP pada tahun 2019 dan Omnibus Law pada tahun 2020. Selama aksi demonstrasi 2019, polisi menggunakan kekuatan yang berlebihan terhadap para demonstran seperti pemukulan dan perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. 

Hal itu juga termasuk pelemparan batu dan benda-benda lainnya, serta penggunaan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam. Polisi menahan dan/atau menangkap secara sewenang-wenang terhadap sekitar 1.489 pengunjuk rasa dan 380 di antaranya didakwa dengan berbagai tuduhan kejahatan.

"Laporan ini dengan jelas menunjukkan kegagalan dan keterlibatan aktif negara dalam pelanggaran HAM serius yang mengarah pada memburuknya situasi HAM di negara ini," kata Usman. 

Berikutnya, aksi demonstrasi pada 2020 juga diikuti dengan penangkapan sewenang-wenang dan penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi berupa kekerasan fisik dan verbal, pemukulan, serta penggunaan gas air mata terhadap pengunjuk rasa. 

 

 

Amnesty International Indonesia juga melakukan verifikasi dan menerbitkan 51 video penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi terhadap pengunjuk rasa Omnibus Law. Amnesty International Indonesia juga telah memverifikasi setidaknya 16 kasus yang mengakibatkan penangkapan terhadap 128 korban, namun jumlah tersebut diduga lebih tinggi dari yang dilaporkan.

"Pemerintah harus mengambil langkah yang berarti dan efektif untuk memastikan bahwa semua serangan, ancaman, dan intimidasi terhadap masyarakat sipil diselidiki dengan segera, menyeluruh, tidak memihak, transparan, dan efektif," tegas Usman. 

Diketahui, data di atas didasarkan pada Laporan Amnesty berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” yang dipublikasikan pada hari ini. 

Laporan Amnesty disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara. Laporan tersebut mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler