Jepang Hadapi Kekurangan Pekerja Sambut Wisatawan Asing
Jepang akan mengembalikan perjalanan bebas visa ke puluhan negara pada Selasa.
REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO -- Ketika Jepang membuka pintunya bagi pengunjung pekan ini setelah lebih dari dua tahun isolasi pandemi, harapan untuk ledakan pariwisata menghadapi hambatan berat di tengah toko-toko yang tutup dan kekurangan pekerja perhotelan. Jepang akan mengembalikan perjalanan bebas visa ke puluhan negara pada Selasa (11/10/2022), mengakhiri beberapa pengawasan perbatasan paling ketat di dunia untuk memperlambat penyebaran Covid-19. Perdana Menteri Fumio Kishida mengandalkan pariwisata untuk membantu memperkuat perekonomian dan menuai beberapa manfaat dari penurunan yen ke level terendah 24 tahun.
Arata Sawa termasuk di antara mereka yang ingin kembalinya turis asing, yang sebelumnya mencapai 90 persen dari tamu di penginapan tradisionalnya. "Saya berharap dan mengantisipasi banyak orang asing akan datang ke Jepang, seperti sebelum Covid," kata pemilik generasi ketiga ryokan Sawanoya di Tokyo.
Lebih dari setengah juta pengunjung telah datang ke Jepang sejauh ini pada 2022, dibandingkan dengan rekor 31,8 juta pada 2019. Pemerintah memiliki target 40 juta wisatawan pada 2020 yang disesuaikan dengan Olimpiade Musim Panas sampai keduanya dibatalkan oleh virus korona.
Kishida mengatakan pekan lalu, pemerintah bertujuan untuk menarik lima triliun yen dalam pengeluaran turis tahunan. Namun tujuan itu mungkin terlalu ambisius untuk sektor yang berhenti berkembang selama pandemi. Menurut data pemerintah, pekerjaan hotel merosot 22 persen antara 2019 hingga 2021.
Presiden Japan Airlines Co Yuji Akasaka menyatakan pekan lalu, maskapai penerbangan itu telah melihat pemesanan masuk tiga kali lipat sejak pengumuman pelonggaran perbatasan. Meski begitu, permintaan perjalanan internasional tidak akan pulih sepenuhnya hingga sekitar 2025.
Bandara Narita, bandara internasional terbesar di Jepang sekitar 70 kilometer dari Tokyo, tetap sepi, dengan sekitar setengah dari 260 toko dan restoran tutup. "Ini seperti setengah kota hantu," kata Maria Satherley dari Selandia Baru, menunjuk ke area keberangkatan Terminal 1.
Satherley yang putranya tinggal di pulau utara Hokkaido mengatakan, ingin kembali dengan cucunya pada musim dingin ini. Namun mungkin dia tidak akan melakukannya karena anak itu terlalu kecil untuk divaksinasi, prasyarat bagi turis yang memasuki Jepang. "Kita tunggu saja sampai tahun depan," katanya.
Presiden Amina Collection Co Sawato Shindo menyatakan, telah menutup tiga toko suvenirnya di Narita dan kemungkinan tidak akan membukanya kembali hingga musim semi mendatang. Perusahaan merealokasi staf dan pasokan dari bandara ke lokasi lain dalam rantai 120 tokonya di seluruh Jepang karena memfokuskan kembali pada pariwisata domestik selama pandemi.
"Saya tidak berpikir akan ada kembalinya situasi pra-pandemi secara tiba-tiba. Pembatasan masih cukup ketat dibandingkan dengan negara lain," kata Shindo.
Banyak pekerja jasa menemukan kondisi kerja dan upah yang lebih baik di bidang lain selama dua tahun terakhir. Kondisi ini membuat warga yang sudah beralih pekerjaan kembali kepada pekerjaan di industri pariwisata mungkin sulit.
"Industri perhotelan sangat terkenal dengan upah rendah, jadi jika pemerintah menghargai pariwisata sebagai industri utama, dukungan keuangan atau subsidi mungkin diperlukan," kata seorang konsultan perusahaan pariwisata yang meminta untuk tidak disebutkan namanya.
Firma riset pasar Teikoku Databank mengatakan, hampir 73 persen hotel di seluruh negeri mengatakan kekurangan pekerja tetap pada Agustus, naik dari sekitar 27 persen setahun sebelumnya. Sebuah kota danau di kaki Gunung Fuji Kawaguchiko menemukan penginapan mengalami kesulitan staf sebelum pandemi di tengah pasar tenaga kerja Jepang yang ketat. Mereka juga mengantisipasi kemacetan serupa sekarang.
Sentimen itu digaungkan oleh Akihisa Inaba, manajer umum di resor mata air panas Yokikan di Shizuoka, Jepang tengah. Dia mengatakan, kekurangan staf selama musim panas berarti pekerja harus mengorbankan waktu istirahat.
"Secara alami, kekurangan tenaga kerja akan menjadi lebih terasa ketika perjalanan masuk kembali. Jadi, saya tidak begitu yakin kita bisa sangat gembira," kata Inaba.