Koalisi Masyarakat Sipil: Tragedi Kanjuruhan Kejahatan Tersistematis
Terjadi mobilitas terstruktur pada saat pertengahan babak kedua oleh aparat polisi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pencari Fakta Koalisi Masyarakat Sipil menerbitkan 12 hasil temuan dalam tragedi kemanusiaan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur (Jatim), Sabtu (1/10/2022). Dari hasil temuan oleh enam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu disebutkan, peristiwa tewasnya 131 suporter sepak bola usai laga Arema FC melawan Persebaya tersebut, merupakan peristiwa kejahatan yang tersistematis.
“Bahwa kami mendapatkan temuan awal peristiwa kekerasan yang terjadi di Stadion Kanjuruhan merupakan dugaan kejahatan yang terjadi secara sistematis, yang tidak hanya melibatkan pelaku lapangan,” begitu kata Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Rivanlee Anandar, dalam siaran pers yang diterima wartawan di Jakarta, Ahad (9/10/2022) malam.
Selain Kontras, enam LSM yang bergabung melakukan penyelidikan tragedi di Kanjuruhan tersebut, adalah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, LBH Surabaya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI), Lokataru, dan IM57+.
Rivanlee menjelaskan, tim gabungan sipil tersebut melakukan proses penyelidikan dan investigasi selama tujuh hari. Penyelidikan dan investigasi dilakukan dengan menggali penjelasan sejumlah korban selamat, dan saksi-saksi yang ada pada saat tragedi terjadi.
“Dalam proses investigasi, kami bertemu dengan saksi-saksi korban, dan keluarga korban dengan kondisi yang mengalami gegar otak, memar muka dan sebagian tubuh, ruam merah di muka, hingga kondisi traumatik berat akibat kekerasan,” kata Rivanlee.
Proses penyelidikan, dan investigasi yang dilakukan, Rivanlee mengatakan, tim gabungan menemukan 12 fakta peristiwa yang dapat menjadi acuan dalam pengungkapan peristiwa tersebut. Temuan tersebut termasuk memastikan penyebab banyaknya korban tewas dalam tragedi tersebut, disebabkan oleh serangan gas air mata oleh aparat kepolisian.
Temuan pertama, Tim Koalisi Sipil menyatakan, terjadi mobilitas yang terstruktur pada saat pertengahan babak kedua, oleh personel kepolisian yang melakukan pengamanan laga pertandingan Arema Vs Persebaya. “Bahwa pada saat pertengahan babak kedua, terjadi mobilisasi sejumlah pasukan yang membawa gas air mata. Padahal, diketahui tidak ada ancaman atau potensi gangguan keamanan pada saat itu,” begitu kata Rivanlee.
Kedua, saat pertandingan selesai, memang ada fakta sejumlah suporter yang masuk ke lapangan. Namun dari penelusuran Tim Koalisi Sipil, dikatakan, para suporter yang masuk ke lapangan tak melakukan pengancaman terhadap para official, dan pemain. Para suporter yang masuk ke lapangan tersebut, diketahui hanya bermaksud memberikan dukungan, dan motivasi kepada para pemain Arema yang mengalami kekalahan 2-3 dari Persebaya dalam pertandingan tersebut.
Akan tetapi reaksi pengamanan dari kepolisian pada saat itu, dinilai berlebihan dengan pengerahan pasukan yang berujung pada tindak kekerasan terhadap para suporter di lapangan. “Hal itulah yang kemudian memicu para suporter lain turun ke lapangan, untuk menolong suporter yang mengalami tindak kekerasan itu,” begitu ujar Rivanlee.
Ketiga, Tim Koalisi Sipil tak menemukan adanya upaya pencegahan dengan cara lain yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam pengendalian suporter pada saat peristiwa itu. Tim Koalisi Sipil mengacu pada Perkap 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan, pengamanan Polri mengharuskan adanya sejumlah tahap untuk merespona setiap eskalasi.
Akan tetapi, dalam tragedi Kanjuruhan tahapan-tahapan tersebut disamping, dengan langsung melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, dan penganiayaan, sampai pada penggunaan gas air mata yang dilarang.
Keempat, pada saat eskalasi pengendalian suporter semakin meninggi, bukan cuma aparat kepolisian yang menjadi pasukan utama dalam melakukan kekerasan. Tim Koalisi Sipil juga menemukan fakta sejumlah anggota militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang turut terlibat melakukan bentuk kekerasan serupa. “Mulai dari pemukulan, penendangan, penyeretan, dan bentuk kekerasan lainnya,” begitu kata Rivanlee.
Kelima, fakta penembakan gas air mata dilakukan oleh aparat kepolisian bukan cuma terhadap para suporter yang berlarian setelah masuk ke lapangan. Namun tanpa ada alasan, para personel kepolisian menembakan gas air mata ke arah tribun penonton di bagian selatan, timur, dan utara. Padahal menurut Tim Koalisi Sipil, para penonton di tiga bagian tribun tersebut tak mengerti tentang situasi penyebab mereka harus dibombardir gas air mata. “Dan hal tersebut menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi penonton, maupun suporter yang ada di tribun sisi selatan, timur, dan utara,” ujar Rivanlee.
Gas Air Mata
Keenam, ditemuan fakta bahwa setelah terjadi serangan gas air mata yang dilakukan oleh personel Polri, para penonton yang ada di tribun pontang-panting mencari akses turun dari barisan tribun untuk keluar stadion melalui pintu keluar. Akan tetapi, akses pintu keluar yang sempit membuat terjadinya penumpukan massa di jalur keluar.
Tim Koalisi Sipil tak menemukan satupun fakta peristiwa adanya upaya evakuasi yang dilakukan oleh petugas, maupun aparat kepolisian lain yang melihat terjadinya penumpukan menuju akses keluar stadion tersebut.
Padahal para penonton yang berusaha mencari jalan keluar tersebut termasuk anak-anak, dan perempuan. “Situasi tersebut semakin diperparah dengan tembakan-tembakan gas air mata yang dilakukan oleh kepolisian. Sehingga hal tersbeut semakin berdampak sangat fatal bagi penonton yang berusaha keluar, namun mengalami sesak nafas, hingga meninggal dunia.”
Ketujuh, Tim Koalisi Sipil menemukan fakta terhadap para penonton yang berhasil keluar dari stadion, pun masih mengalami sesak nafas, dan kondisi lemah akibat berdesak-desakan, dan terinjak-injak. “Akan tetapi, tidak ditemukan adanya tindakan pertolongan yang dilakukan oleh aparat berwenang. Penonton yang berhasil keluar dengan caranya sendiri mengatasi kondisinya dengan caranya masing-masing dengan bantuan dari penonton lainnya.”
Delapan, Tim Koalisi Sipil juga menemukan fakta peristiwa lain yang terjadi di luar stadion. Disebutkan, bahwa kekerasan dan serbuan gas air mata kepada penonton yang dilakukan oleh aparat kepolisian tak cuma terjadi di dalam stadion. Namun dikatakan juga terjadi di luar stadion. “Aparat kepolisian juga melakukan penembakan gas air mata kepada para suporter yang berada di luar stadion,” ujar Rivanlee.
Sembilan, usai melewati peristiwa nahas, terjadi rentetan tindakan intimidasi yang dilakukan oleh aparat kepolisian terhadap para korban yang selamat. Tim Koalisi Sipil menemukan fakta adanya sejumlah pihak dari kepolisian yang melakukan serangan-serangan lain via sarana komunikasi. “Kami menduga hal ini dilakukan agar menimbulkan suatu ketakutan kepada para saksi dan korban agar tidak memberikan kesaksian,” ujarnya.
Sepuluh, Tim Koalisi Sipil menemukan fakta tak adanya data tentang informasi dari para korban selamat dari peristiwa tersebut yang dirilis resmi oleh pemerintah, maupun aparat kepolisian yang dapat diakses oleh publik. Hal tersebut menurut Tim Koalisi Sipil diduga untuk melokalisir penyebaran informasi tentang peristiwa yang sebenarnya dari para korban. “Juga tidak adanya perkembangan terkait penanganan hukum atas peristiwa tersebut,” begitu kata Rivanlee.
Sebelas, Tim Koalisi Sipil menjalin kerja sama dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), dan memberikan hasil penyelidikan, dan investigasi sebagai pembanding. “Tetapi kami tidak melihat kerja nyata dari Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) yang dibentuk pemerintah untuk menemui sejumlah saksi dan korban yang dapat memberikan kesaksiannya,” begitu kata Rivanlee.
Terakhir, Tim Koalisi Sipil mengecam keras penggiringan opini yang dilakukan oleh Polri, dan pihak-pihak tertentu untuk mendistorsi tragedi Kanjuruhan menjadi peristiwa yang didasarkan atas kronologis kerusuhan suporter, dan kemarahan suporter atas kekalahan tim. Pun juga mengecam alibi pemaksa terkait dengan temuan botol-botol minuman keras di stadion tempat terjadinya tragedi. “Bahwa narasi temuan minuman alkohol, dan penggunaan terminologi kerusuhan dalam tragedi di Stadion Kanjuruhan tersebut adalah tindakan, dan penggiringan opini penyesetan,” ujar Rivanlee.
Menurut Tim Koalisi Sipil, tragedi kemanusian yang terjadi di Stadion Kanjuruhan tak didasari atas mula peristiwa adanya aksi kerusuhan. Namun menurut Tim Koalisi Sipil sebaliknya, bahwa aparat kepolisian, bersama dengan sejumlah anggota TNI melakukan serangan terhadap para penonton. “Yang terjadi justeru ialah, serangan atau pembunuhan yang dilakukan oleh aparat keamanan secara sistematis terhadap warga sipil,” ujarnya.
Tersangka
Kapolri Listyo Sigit Prabowo, Kamis (6/10) lalu sudah mengumumkan enam orang sebagai tersangka terkait tragedi di Kanjuruhan. Enam tersangka itu, adalah AHL (Akhmad Hadian Lukita) tersangka selaku Direktur Utama (Dirut) PT Liga Indonesia Baru (LIB), operator kompetisi sepak bola nasional milik Federasi Sepak Bola Indonesia (PSSI). Tersangka AH, diketahui sebagai Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan, atau biasa disebut panpel. Tersangka SS, diketahui sebagai security officer stadion.
Tiga tersangka lainnya, para personel kepolisian. Mereka; Wahyu SS yang ditetapkan tersangka selaku Kepala Bagian Operasional (Kabag Ops) Polres Malang, BSA yang ditetapkan tersangka selaku Kasat Samaptha Polres Malang, serta tersangka H, Komandan Kompi (Danki) 3 Brimob Polda Jatim. Jenderal Sigit menegaskan, enam tersangka dijerat sangkaan Pasal 359, dan Pasal 360 KUH Pidana, dan atau Pasal 103 juncto Pasal 52 UU Keolahragaan 11/2022.
“Meningkatkan status terkait dengan dugaan Pasal 359 dan Pasal 360 (KUH Pidana) tentang menyebabkan orang mati atau luka-luka berat karena kealpaan,” begitu kata Kapolri Sigit, di Malang, pekan lalu.
Terkait sangkaan lainnya, yaitu soal kewajiban penyelenggara pertandingan olahraga mempersiapkan sistem keamanan, dan keselamatan bagi official, dan penonton. Ancaman pidana dalam sangkaan tersebut, satu sampai lima tahun penjara.