Rusia Prediksi Turki akan Kembali Jadi Mediator Konflik dengan Ukraina
Turki telah berhasil membuat Rusia-Ukraina menyepakati perjanjian koridor gandum.
REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia memprediksi bahwa Turki akan kembali menawarkan peranan sebagai mediator untuk merumuskan resolusi konflik Ukraina. Sebelumnya Ankara telah berhasil membuat Moskow dan Kiev menyepakati perjanjian koridor gandum di Laut Hitam.
Penawaran tentang peranan mediator itu diperkirakan bakal disampaikan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan saat bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Astana, Kazakhstan. Ajudan Vladimir Putin, Yury Ushakov, mengungkapkan, beberapa inisiatif sedang dibahas, kebanyakan di media.
“Mereka mengatakan sekarang bahwa Turki kemungkinan akan datang dengan inisiatif lain untuk resolusi konflik Ukraina, karena ada berbagai laporan media bahwa Turki mengajukan saran praktis. Saya tidak mengesampingkan bahwa Erdogan akan secara aktif kembali ke masalah ini selama pembicaraan Astana. Jadi kita akan melakukan diskusi yang sangat menarik dan bermanfaat," kata Ushakov, Rabu (12/10/2022), dilaporkan kantor berita Rusia, TASS.
Menurutnya, Turki tidak akan melewatkan kesempatan untuk menawarkan kembali perannya dan mengusulkan sesuatu. “Bagi saya, skenario seperti itu sangat mungkin terjadi,” ucap Ushakov.
Jika nantinya akan ada pertemuan yang diagendakan, Ushakov memprediksi kegiatan itu bakal digelar di wilayah Turki, yakni antara Istanbul dan Ankara. Menurut Ushakov, Turki telah "cukup berhasil" bertindak sebagai mediator dalam masalah terkait Ukraina. Dalam hal ini, dia mengaitkan peran Ankara dalam tercapainya kesepakatan koridor gandum di Laut Hitam pada Juli lalu.
Ushakov menjelaskan, hingga saat ini hubungan antara Putin dan Erdogan terjalin baik. Salah satu faktor yang mendasari hal tersebut adalah karena Turki tidak bergabung dalam kampanye sanksi yang diterapkan Barat terhadap Moskow. “Fakta bahwa Turki mengambil sikap seperti itu memberikan dorongan tambahan untuk perluasan perdagangan dan kemitraan ekonomi,” katanya.
Pada 22 Juli lalu, Rusia dan Ukraina menandatangani kesepakatan koridor gandum di Istanbul. Perjanjian itu diteken di bawah pengawasan PBB dan Turki. Dengan perjanjian tersebut, Moskow memberi akses kepada Ukraina untuk mengekspor komoditas biji-bijiannya, termasuk gandum, dari pelabuhan-pelabuhan mereka di Laut Hitam yang kini berada di bawah kontrol pasukan Rusia. Itu menjadi kesepakatan paling signifikan yang dicapai sejak konflik Rusia-Ukraina pecah pada 24 Februari lalu.
Rusia dan Ukraina merupakan penghasil 25 persen produksi gandum dan biji-bijian dunia. Sejak konflik pecah Februari lalu, rantai pasokan gandum dari kedua negara itu terputus. Ukraina tak dapat melakukan pengiriman karena pelabuhan-pelabuhannya direbut dan dikuasai Rusia. Sementara Moskow tak bisa mengekspor karena adanya sanksi Barat. Hal itu sempat memicu kekhawatiran bahwa dunia bakal menghadapi krisis pangan.