Pengadilan India Tuntut Tindakan Pidato Kebencian Anti-Muslim
Pengadilan menyatakan karakter sekuler India harus dilestarikan.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Mahkamah Agung India memerintahkan kepala polisi dari dua negara bagian dan ibu kota New Delhi untuk mengambil tindakan terhadap pidato kebencian anti-muslim. Tindakan itu diambil terlepas dari agama pembuat pidato atau orang yang melakukan tindakan tersebut.
Pengadilan tinggi negara menyatakan, karakter sekuler India harus dilestarikan dan dilindungi, dan negara bagian harus mengambil tindakan untuk menghentikan ujaran kebencian. Hal ini sebagai tanggapan atas petisi yang meminta tindakan atas ucapan-ucapan semacam itu terhadap komunitas Muslim. Dua hakim Mahkamah Agung negara itu pada Jumat (21/10/2022), memerintahkan kepala polisi dari dua negara bagian dan ibukota nasional Delhi untuk mengambil tindakan terhadap pidato kebencian.
Adapun petisi diajukan oleh seorang pria Muslim. Dia meminta pengadilan untuk mengarahkan otoritas negara untuk mengambil tindakan terhadap pidato kebencian yang meluas terhadap komunitas Muslim.
"Pengaduan pemohon adalah salah satu kesedihan dan kecemasan," kata hakim KM Joseph dan Hrishikesh Roy dalam perintah sementara mereka pada Jumat, dilansir dari laman TRT World, Ahad (23/10/2022).
Di samping itu, awal pekan ini, Sekjen PBB Antonio Guterres mengecam India atas catatan hak asasi manusianya.
"Sebagai anggota terpilih dari Dewan Hak Asasi Manusia, India memiliki tanggung jawab untuk membentuk hak asasi manusia global, dan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak semua individu, termasuk anggota komunitas minoritas," kata Guterres dalam pidato di Mumbai selama kunjungan Rabu (19/10/2022).
Sementara Partai nasionalis Hindu Perdana Menteri India, Narendra Modi dan sekutunya dituduh oleh para kritikus serta pemimpin oposisi meminggirkan Muslim di negara itu. Akan tetapi partai itu dengan tegas membantah klaim tersebut, dan mengatakan bahwa mereka memperlakukan semua orang dari semua agama secara setara.
Semenjak Modi berkuasa pada 2014 di negara mayoritas Hindu, para pegiat mengatakan penganiayaan dan ujaran kebencian telah meningkat terhadap minoritas agama. Ini terutama minoritas Muslim India yang berpenduduk 200 juta orang.
Selain itu, tekanan juga meningkat terhadap kritikus dan jurnalis pemerintah, khususnya reporter wanita. Beberapa telah mengalami kampanye pelecehan online tanpa henti termasuk ancaman kematian dan pemerkosaan.
Para aktivis menyatakan, ini terutama terjadi di Kashmir yang dikelola India semenjak pemerintah Modi pada 2019 memberlakukan aturan langsung di wilayah mayoritas Muslim yang bergolak. Di mana ia memiliki setengah juta tentara yang ditempatkan.