Terapkan Pidana Pelanggaran HAM pada Tragedi Kanjuruhan
Banyak kejanggalan dan keanehan pada proses penegakan hukum kasus stadion Kanjuruhan. Ini adalah peristiwa yang luar biasa. Jika hanya berhenti pada enam tersangka tidak menyelesaikan masalahnya.
KAKI BUKIT – Tepatkah penerapan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP kepada para tersangka tragedi stadion Kanjuruhan, Malang yang menewaskan 135 orang suporter Aremania pada 1 Oktober 2022 lalu?
Pertanyaan tersebut menyeruak pada Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Palembang pada Jumat, 29 Oktober 2022. FGD dengan moderator Aina Rumiyati Aziz Sekretaris DPC Ikadin Palembang.
Pada FGD yang mengusung tema “Tragedi 1 Oktober Stadion Kanjuruhan dalam Perspektif Hukum” tersebut diikuti peserta dari advokat praktisi hukum, Sekretaris PT Sriwijaya Optimis Mandiri (SOM) – pengelola Sriwijaya FC – Faisal Mursyid, Qusoy tokoh suporter Sriwijaya FC dan beberapa wartawan olahraga.
Hampir satu bulan peristiwa tragedi stadion Kanjuruhan Malang sudah berlalu. Data terakhir menyebutkan 135 orang korban jiwa penonton sepak bola pada pertandingan kompetisi Liga 1 Indonesia 2022 antara Arema FC vs Persebaya meninggal dunia.
Aparat penegak hukum, Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) telah menetapkan enam orang tersangka yang bertanggung jawab pada peristiwa merenggut ratusan jiwa nyawa manusia tersebut. Sejak 24 Oktober 2022 Polda telah menahan enam orang tersangka tersebut setelah memeriksa 93 saksi termasuk 11 saksi ahli, satu saksi pidana, delapan dari kedokteran, dan dua ahli dari laboratorium forensik.
Enam tersangka tersebut yakni Direktur PT Liga Indonesia Baru (LIB) Akhmad Hadian Lukita, Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris, Security Officer Suko Sutrisno, Komandan Kompi III Brimob Polda Jatim AKP Hasdarman, Kabag Ops Polres Malang Wahyu SS, dan Kasat Samapta Polres Malang Ajun Komisaris Polisi Bambang Sidik Achmadi.
Tiga tersangka, Akhmad Hadian Lukita, Abdul Haris, Suko Sutrisno dijerat dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP dan/atau Pasal 103 ayat 1 Jo Pasal 52 UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan. Tersangka AKP Hasdarman, Kompol Wahyu SS, dan AKP Bambang Sidik Achmadi disangkakan dengan Pasal 359 dan/atau Pasal 360 KUHP.
Polisi juga telah memeriksa Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Mochamad Iriawan atau Iwan Bule pada 20 Oktober 2022. Pemerintah dalam tragedi Stadion Kanjuruhan telah membentuk Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD. Ada sembilan poin rekomendasi dari TGIPF.
Dalam FGD yang diikuti advokat senior, diantaranya mantan Ketua Peradi Palembang Bambang Hariyanto, advokat Antoni Toha, advokat Hafidz D Pankoulus, advokat Hatta Nahrowi dan Ketua Ikadin Palembang Andri Meiliansyah, sepakat menggugat dan mempertanyakan penerapan dua pasal KUHP tersebut kepada para tersangka, dan mendesak polisi harus mencari dan menetapkan tersangka lain yang harus ikut bertanggung jawab.
Menurut Bambang Hariyanto, banyak kejanggalan dan keanehan pada proses penegakan hukum kasus stadion Kanjuruhan. “Ini adalah peristiwa yang luar biasa. Jika hanya berhenti pada enam tersangka tidak menyelesaikan masalahnya. Penanganan hukumnya tidak hanya berhenti pada KUHP dan UU Keolahragaan. Harus diusut juga pelanggaran HAM dalam peristiwa ini,” katanya.
Advokat yang pernah menjadi Ketua Bidang Hukum KONI Sumatera Selatan (Sumsel) meminta polisi juga mengusut adanya pelanggaran HAM (Hak Azazi Manusia) pada penanganan pengamanan pada pertandingan pertandingan Arema FC melawan Persebaya tersebut. “Jika merujuk pada UU HAM, siapa penanggung jawabnya? Ya jelas pemerintah.”
Bambang Hariyanto menegaskan, “Yang terjadi di stadion Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 bukan peristiwa biasa, ini peristiwa luar biasa. Mencegah ini tidak terulang harus diterapkan upaya hukum maksimal. Ini bukan karena benci, bukan karena tidak senang, perlu didorong, usut tuntas kasus ini sampai pada pasal pelanggaran HAM.”
Bagi Bambang, penerapan pasal-pasal KUHP itu ancaman hukuman paling satu tahun kurungan. “Ancaman hukumannya harus maksimal. Fakta di lapangan terjadi adanya tindakan represif dari aparat, apakah pantas dilakukan penembakan gas air mata? Walau berdalih gas air mata tidak membunuh, tapi karena tambakan gas air mata mengakibatkan suporter tewas karena kehabisan oksigen dan terinjak-injak berebutan keluar stadion,” katanya.
Pasal 340 KUHP
Advokat Antoni Toha melihat apa yang terjadi di stadion Kanjuruhan dari banyak video yang beredar, “Ada kepanikan pada polisi yang melakukan pengamanan. Sangat disayangkan jika ancaman seringan itu. Benar harus diarahkan pada penerapan pasal pelanggaran HAM,” katanya.
Bahkan menurut advokat Hatta Nahrowi, kepada tersangka bisa juga diterapkan pasal 340 KUHP adanya pembunuhan berencana. Usulan Hatta tersebut senada dengan sikap Aremania yang menolak jalannya rekonstruksi dengantidak menggambarkan adanya penembakan gas air mata ke tribun. Pada Aremamani mendeka dikenakan Pasal 340, pasal pembunuhan berencana.
Menimpali pernyataan tersebut, Qusoy salah seorang pimpinan suporter Sriwijaya FC menyatakan bahwa yang terjadi di stadion Kanjuruhan bukan bentrok antar suporter. “Malam itu setelah Arema FC kalah dari Persebaya, suporter yang masuk ke lapangan bukan hendak membuat rusuh atau mengganggu pemain lawan, karena pemain Persebaya sudah tidak ada di lapangan, mereka sudah ke luar stadion. Bisa saja Aremania yang masuk ke lapangan ingin berfoto selfie dengan pemain idola mereka,” ujarnya.
Hal yang sama menurutnya pernah terjadi saat laga Sriwijaya FC melawan PSMS Medan beberapa tahun lalu di stadion Teladan Medan. “Kami waktu itu suporter Sriwijaya FC masuk ke lapangan setelah Sriwijaya FC kalah, aparat keamanan tidak mengambil tindakan apa-apa, tidak ada tindakan represif kepada kami. Justru yang kena sanksi PSSI adalah manajemen Sriwijaya FC terkena hukuman denda,” katanya.
Sementara itu Faisal Mursyid dari Sriwijaya FC menjelaskan mekanisme tentang penyelenggaran pertandingan pada kompetisi Liga Indonesia. Saat Sriwijaya FC masih bercokol di Liga 1, dirinya harus melakukan koordinasi dengan aparat keamanan dari Polrestabes Palembang dan Polda Sumsel.
Menurutnya, apa lagi pada pertandingan berlabel big match pengamanan memang harus maksimal karena jumlah penonton biasanya akan maksimal atau berlebih dari kapasitas stadion, seperti laga Arema vs Persebaya di stadion Kanjuruhan.
“Juga harus diperhatikan fanatisme suporter klub. Seperti laga Sriwijaya FC vs Persib Bandung di stadion Gelora Sriwijaya, suporter bobotoh akan datang dari berbagai daerah ke Palembang dan stadion akan penuh. Ini butuh perhatian serius agar tidak terjadi bentrok antar suporter atau perusakan fasilitas umum,” kata pria yang akrab disapa “Datuk.”
Datuk juga menjelaskan, pada pertandingan Arema FC vs Persebaya tersebut ada kelalaian dari petugas membuka pintu keluar. “Sudah ada ketentuan, 15 menit sebelum pertandingan selesai petugas harus sudah membuka seluruh pintu keluar stadion. Pada setiap laga Sriwijaya FC di stadion Gelora Sriwijaya saya selalu mengingat langsung di lapangan untuk segera membuka pintu keluar,” ujarnya.
Pada FGD juga membahas perlunya aparat keamanan memahami regulasi FIFA dalam kompetisi resmi yang berada di bawah naungan FIFA dan PSSI. Seperti ketidaktahuan polisi yang melakukan pengamanan di stadion Kanjuruhan terhadap larangan membawa senjata api dan gas air mata ke dalam stadion.
Menurut wartawan olahraga Purwantoro, tidak mengertinya aparat keamanan terhadap regulasi FIFA bukan hanya terjadi di tingkat petugas di lapangan tetapi juga sampai pada level pimpinan seperti Kapolda. Hal ini terjadi pada pertandingan final Piala Indonesia 2010 antara Sriwijaya FC menghadapi Arema Malang di stadion Manahan Solo.
“Menjelang pertandingan babak kedua Kapolda Jateng meminta panpel dan PSSI mengganti wasit Jimmy Napitupulu diganti dengan alasan khawatir terjadi rusuh. Memang malam itu seluruh tribun diisi Aremania. Padahal menurut regulasi FIFA wasit adalah penguasa pertandingan yang tidak bisa diintervensi siapa pun,” ujar Purwantoro seraya menjelaskan bahwa jejak digital intervensi tersebut tersimpan di internet.
Lex Sportiva
Memang dalam pertandingan sepak bola pada kompetisi seperti Liga 1 Indonesia yang menyedot perhatian banyak orang itu adalah milik FIFA (The Federation Internationale de Football Association). Pertandingan sepak bola seperti kompetisi Liga 1 Indonesia bukan milik negara. Jika terjadi intervensi negara atau melanggar dari regulasi FIFA, FIFA berhak atau bisa melarang sepak bola di negara tersebut.
FIFA adalah federasi sepak bola internasional yang mengatur dan mengelola serta menyelesaikan sengketa dalam kompetisi sepak bola profesional berdasarkan Lex Sportiva dan Lex Ludica untuk kemudian mengembangkannya dalam Statuta FIFA.
Mengutip mantan Sekretaris Jendral PSSI Hinca Pandjaitan dalam disertasinya program doktor menyebutkan, “Sepak bola adalah permainan yang dikuasai dan dikontrol oleh FIFA secara penuh dan berdaulat, maka kompetisi sepak bola pun dikelola dan dimiliki oleh FIFA. Tetapi karena pertandingan sepak bola membutuhkan lapangan yang merupakan miliki dan ada di bawah kedaulatan sebuah negara, maka tidak ada pertandingan sepak bola tanpa izin negara.”
Dalam sebuah pertandingan kompetisi sepak bola ada dua hukum yang berlaku, yaitu sistem hukum FIFA dan sistem hukum negara. Mekanisme hukum FIFA terdiri atas Lex Sportiva dan Lex Ludica sebagai bagian dari hukum internasional. Lex Ludica adalah bagaimana kompetisi sepak bola profesional dilangsungkan di lapangan pemainan. Lex Sportiva memastikan tentang pengorganisasian (governing) agar Lex Ludica berjalan sesuai dengan mekanismenya.
Agar sebuah kompetisi sepak bola profesional seperti Liga 1 Indonesia bisa berlangsung sesuai dengan sistem hukum dan mekanismenya maka sistem hukum FIFA, yakni Lex Sportiva maupun sistem hukum nasional suatu negara yang digunakan untuk menyelenggarakan kompetisi sepak bola profesional sama-sama mempunyai peran guna mewujudkan agar the Law of the Games dapat dijalankan sesuai mekanismenya.
Dalam FGD juga mengemuka, ke depan Indonesia perlu ada hukum olahraga (Lex Sportiva). Jika ada hukum ekonomi dan hukum pasar modal dan hukum lainnya, kenapa Indonesia tidak mengenal hukum olahraga? Padahal payung hukumnya sudah ada UU Nomor 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan, mengingat olahraga seperti sepak bola tidak hanya sekedar olahraga atau hiburan melainkan telah menjelma menjadi industri olahraga.
Berbeda dengan di luar negeri, seperti di negara Eropa, kalangan hukum dari praktisi hukum sampai akademisi bidang hukum perhatian mereka pada dunia olah raga cukup tinggi. Ada perkumpulan advokat yang bernama Sports Lawyers Association (SLA) dan The International Sport Lawyers Association (ISLA). SLA adalah asosiasi nirlaba beranggotakan lebih dari seribu orang hukum, dari praktisi hukum, akademisi, mahasiswa hukum, dan profesional lain yang punya perhatian terhadap olah raga.
Kemudian di Marquette University Law di Amerika Serikat ada program studi hukum olahraga yang berdiri sejak 1989 yang bernama National Sports Law Institute. Di Indonesia, Hinca IP Panjaitan membentuk Indonesian Sports Law Institute.
Menurut Pramono dalam “Pelanggaran Aturan Hukum dalam Olahraga Sepak Bola” (Makalah Filsafat Olahraga, 2017), penerapan hukum olahraga di berbagai negara sudah lama diterapkan. Di Belanda dikenal istilah lex sportiva (hukum olahraga), hukum olahraga Eropa, Pusat Kajian Hukum Olahraga/ Asser Institute, Asosiasi Hukum Olahraga, Asosiasi Pengacara Olahraga, Internasional Seminar on Sport Law. Indonesia tentu sudah bisa memikirkan adanya hukum olahraga mengingat sudah ada payung hukumnya.
Penerapan hukum olahraga menjadi sangat penting pada setiap aktivitas keolahragaan. Dengan UU Nomor 11 Tahun 2022 akan memberikan penguatan dan optimalisasi penerapan hukum olahraga pada setiap aktivitas keolahragaan. Hukum olahraga juga menjadi penting bagi aparat penegak hukum. Setidaknya aparat penegak hukum bisa memiliki perspektif yang baru selain norma hukum yang diatur dalam KUHP.
Jika ada hukum olahraga tersebut harus jadi Lex Specialis karena olahraga memiliki law of the game-nya masing-masing. Tidak bisa diintervensi oleh hukum nasional, bahkan hukum internasional. Olahraga adalah hak asasi setiap orang. Jika negara ikut campur terlalu jauh, dapat digolongkan negara sudah melanggar hak asasi rakyatnya.
Intervensi terhadap olahraga sudah pernah terjadi di Indonesia pada 2015 saat Kemenpora membentuk Tim Transisi untuk menggantikan PSSI. Merujuk keputusan itu pada Sabtu, 30 Mei 2015 FIFA menjatuhkan sanksi bagi Indonesia. Sanksi ini menjadi bukti bahwa hukum FIFA adalah Lex Specialis dan tidak bisa diintervensi siapa pun. (maspril aries)