G20, Memperkuat Investasi Hijau Indonesia

Indonesia telah menunjukkan komitmen yang sangat kuat terhadap penurunan emisi karbon

ANTARA FOTO/Fikri Yusuf
Petugas melintas di area Terminal Kedatangan Internasional Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Sabtu (5/11/2022). Seluruh pengerjaan beautifikasi dan revitalisasi bandara serta persiapan berbagai fasilitas serta sarana pendukung di Bandara Bali telah rampung dan siap untuk menyambut tamu negara dan delegasi pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Arman, Staf Pengajar Universitas Trilogi

Sebagai presidensi G20, Indonesia telah menunjukkan komitmen yang sangat kuat terhadap penurunan emisi karbon. Pemerintah indonesia menargetkan penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen--35 persen secara mandiri dan mencapai 41 persen terhadap baseline emisi GRK melalui kerja sama global dan bantuan negara lain hingga 2025.

Selanjutnya, penetapan peraturan presiden nomor 12 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menunjukkan perhatian dan kesiapan indonesia mengembangkan energi baru terbarukan (EBT). Lebih jauh, Presiden menghentikan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan menargetkan pengakhiran operasi PLTU yang sudah berjalan sampai 2050, sejak peraturan ini diterbitkan.

Pengakhiran operasional PLTU sekaligus mendorong kapasitas EBT nasional mencapai 23--25 persen pada 2025 dengan perkiraan investasi sebesar 36,35 miliar Dolar AS. Kementerian ESDM memproyeksi kebutuhan investasi 1 triliun Dolar AS untuk mencapai karbon netral pada 2060. Sayangnya target pembangunan EBT hingga 2022 belum tercapai sehingga menganggu target dan capaian penggunaan EBT sebesar 25 persen pada 2025 dan karbon netral pada 2060.

Momentum pertemuan G20 yang berangsung di Bali, Indonesia sebagai penyelenggara dan pemimpin G20 harus mau memanfaatkan momentum tersebut. Forum ini merupakan kesempatan bagi indonesia untuk mendorong kerja sama mewujudkan pembangunan berkelanjutan (ramah lingkungan) melalui transisi energi fosil ke energi terbarukan, selain masalah krisis ekonomi.

Indonesia membuka peluang kerja sama multilateral melalui skema Public Private Parnership (PPP) untuk mencapai transisi energi dan membangun investasi hijau. Investasi energi hijau adalah investasi masa depan dan lanskap penggunaan energi global, sisi lain mencegah kerusakan dan perubahan lingkungan. Peluang ini sangat besar karena indonesia memiliki kekhasan dan kekayaan sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai sumber energi terbarukan pada setiap bentangan pedesaan.

Pengolahan Limbah Biogas Sawit menjadi EBT
Kesadaran ekologis menjadi dasar untuk memperkuat saling ketergantungan antar manusia dan alam, selanjutnya menjadi peradaban. Kesadaran ekologis tidak sepenuhnya menjauh dari kesadaran modernisasi tetapi mengoreksi sains dan modernisasi yang jauh dari nilai entitas budaya dan ekologi.  

Perkebunan/komoditi sawit adalah salah satu aktivitas yang mendapat perhatian global karena menyebabkan deforestasi dan kerusakan lingkungan dan ekologis. Di sisi lain, komoditi sawit mendatangkan manfaat ekonomi yang luar biasa besar sebagai bahan olah makanan, bahan olah kimia dan energi terbarukan.

Lebih jauh, pemanfaatan limbah sawit untuk mengembangkan EBT biogas dapat mendatangkan lebih banyak manfaat ekonomi dan lingkungan serta membangun kesadaran ekologis masyarakat pedesaan. Luas areal dan jumlah produksi budidaya perkebunan sawit hingga 2021 sekitar +15 juta Ha dan +49 juta ton (BPS, 2021).

Kandungan limbah yang terbesar pada setiap tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah limbah bahan utama energi biogas, yaitu palm oil mill effluent (pome), diperkirakan 50 persen terhadap total TKKS. Limbah yang asalnya tidak bermanfaat dan merusak lingkungan berubah menjadi sumber ekonomi dan energi baru bila diolah menjadi pembangkit listrik tenaga biogas.

Pengolahan limbah sawit menjadi sumber energi dan pengelolaan perkebunan sawit yang memperhatikan nilai konservasi tinggi merupakan kombinasi yang tepat untuk mengurangi issu deforestasi. Indonesia harus meyakinkan kepada pimpinan dunia telah mengembangkan kawasan industri yang menggunakan energi listrik dari limbah kelapa sawit.  

Energi terbaharukan dari limbah kelapa sawit menghidupkan ekonomi dan industri lokal. Limbah pome menjadi peluang investasi untuk mempercepat penggunaan energi terbarukan secara massal dan memperkuat industri pedesaan.


EBT menghidupkan ekonomi lokal
Bahan EBT yang bersumber dari biogas, tenaga air, panas bumi dan tenaga angin adalah bahan baku yang tidak bisa/sulit dipindahkan (imperfect factor mobility) sehingga konstruksi teknologi dan pabrik berdekatan dengan lokasi bahan baku. Pengembangan jenis EBT sangat bergantung pada kondisi geografis dan jenis bahan baku energi yang tersedia di pedesaan.  

Pembangunan EBT yang dekat dengan sumber daya dapat merangsang pembangunan ekonomi lokal pedesaan. Selain penggunaan tenaga kerja desa dan aliran investasi, kegiatan ekonomi baru dan nilai tambah akan tumbuh di pedesaan. Pengembangan energi terbarukan menyebabkan desa tidak hanya identik dengan aktivitas pertanian tetapi memujudkan pedesaan sebagai kawasan strategis yang menyediakan energi terbarukan dan sumber utama pangan nasional.

Kebijakan Investasi Hijau
Nilai investasi yang tinggi, inovasi teknologi dan regulasi mempengaruhi target investasi EBT belum tercapai dan optimal. Industri telah menggunakan energi terbarukan untuk mengerakkan kegiatan ekonomi lokal. Sayangnya nilai investasi yang besar menyebabkan pengembangan EBT belum optimal, sisi lain potensi alam dan bahan baku EBT tersebar di berbagai desa dan khas. Indonesia harus mampu memanfaatkan pertemuan G20 untuk memperkuat kerja sama multilateral pada bidang energi terbarukan dan transisi energi fosil ke energi terbarukan.

Kerja sama multilateral yang harus diorong adalah, pertama, mengajak Negara G20 dan investor mendukung kebijakan dan target penurunan emisi karbon dan karbon netral. Kedua, pemerintah perlu memberikan insentif regulasi (tax holiday, perizinan dan kepastian) kepada investor. Ketiga, kerja sama multilateral melibatkan pihak pemerintah dan swasta melalui public private parnership. Keempat, melakukan kerja sama penelitian dan pengembangan perguruan tinggi luar negeri dan dalam negeri untuk mengembangkan teknologi EBT.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler