Studi Anyar: Makanan Olahan Penyebab Utama Obesitas di Dunia
Makanan olahan yang rendah protein diklaim sebagai penyebab obesitas di dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Makanan olahan tidak pernah direkomendasikan ahli gizi, dan penelitian terbaru sekarang memperkuat klaim bahwa makanan tersebut adalah penyebab utama obesitas di dunia western. Semuanya bermuara pada sesuatu yang dikenal sebagai Hipotesis Leverage Protein.
Dikembangkan oleh profesor Universitas Sydney David Raubenheimer dan Stephen Simpson, hipotesis ini awalnya diajukan 18 tahun lalu. Dimulai dengan konsep bahwa karena tubuh manusia secara alami didorong untuk mencari dan mengkonsumsi protein, kita cenderung untuk terus makan sampai kebutuhan protein harian kita terpenuhi.
Sayangnya, makanan olahan dan olahan yang membentuk sebagian besar makanan western biasanya rendah protein. Akibatnya, kita akhirnya makan makanan tersebut dalam jumlah besar, yang seringkali kaya akan lemak dan karbohidrat, untuk memenuhi kebutuhan protein kita.
Untuk studi baru, tim U Sydney yang dipimpin oleh Dr Amanda Grech berangkat untuk melihat seberapa banyak Hipotesis Leverage Protein benar-benar dimainkan di dunia nyata. Untuk melakukannya, para ilmuwan menganalisis data dari National Nutrition and Physical Activity Survey, yang mendokumentasikan nutrisi dan aktivitas fisik pada 9.341 orang dewasa Australia antara Mei 2011 dan Juni 2012.
Antara lain, ditemukan bahwa ketika orang makan sarapan yang cukup rendah protein, mereka cenderung mengonsumsi makanan dalam jumlah yang lebih besar pada waktu makan berikutnya. Temuan ini mendukung hipotesis, karena menunjukkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan protein mereka dengan makan lebih banyak sepanjang hari.
Demikian pula, diamati juga bahwa ketika orang makan sarapan dengan lebih banyak protein, asupan makanan mereka lebih rendah untuk makanan berikutnya. Perlu juga dicatat bahwa dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang sarapan rendah protein, orang yang sarapan berprotein tinggi mengonsumsi lebih sedikit makanan padat energi yang tinggi lemak jenuh, gula, dan garam di kemudian hari.
“Hasilnya mendukung penjelasan ekologis dan mekanistik yang terintegrasi untuk obesitas, di mana makanan rendah protein, makanan yang diproses tinggi menyebabkan asupan energi yang lebih tinggi sebagai respons terhadap ketidakseimbangan nutrisi yang didorong oleh nafsu makan yang dominan untuk protein,” ujar Prof Raubenheimer seperti dilansir dari laman New Atlas, Sabtu (12/11/2022).
Ini mendukung peran sentral protein dalam epidemi obesitas, dengan implikasi signifikan bagi kesehatan global. Sebuah makalah tentang penelitian ini baru-baru ini diterbitkan dalam jurnal Obesity.