PBB dan Uni Eropa Kecewa COP27 tak Prioritaskan Pengurangan Emisi
Minimnya komitmen tentang pengurangan emisi dalam rangka menangani perubahan iklim.
REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – PBB dan Uni Eropa mengutarakan kekecewaan mereka atas deklarasi akhir United Nations Climate Change Conference (COP27) yang digelar di Sharm el-Sheikh, Mesir. Rasa kecewa mereka bersumber dari minimnya komitmen tentang pengurangan emisi dalam rangka menangani perubahan iklim.
“Planet kita masih dalam keadaan darurat. Kita perlu mengurangi emisi secara drastis sekarang, dan ini adalah masalah yang tidak dibahas COP ini,” kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Ahad (20/11/2022), dikutip Anadolu Agency.
Sementara itu Wakil Presiden Komisi Eropa Frans Timmermans mengungkapkan, hasil COP27 di Mesir bukan langkah cukup untuk memajukan pengurangan emisi. "Itu tidak memberikan upaya tambahan yang cukup bagi penghasil emisi besar untuk meningkatkan dan mempercepat pengurangan emisi mereka," kata Timmermans yang hadir langsung di Sharm el-Sheikh.
Prancis sebagai salah satu negara maju di dunia turut menyesalkan kurangnya ambisi pengurangan emisi pada hasil akhir COP27. Menteri Energi Prancis Agnes Pannier-Runacher mengatakan, COP27 tidak membuat kemajuan dalam komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca serta penghentian penggunaan bahan bakar fosil.
“Perjanjian COP27 mungkin tidak memenuhi ambisi Prancis dan Uni Eropa, tapi mempertahankan hal yang paling penting: menggarisbawahi tujuan membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat Celcius dan mendesak negara-negara melakukan upaya ekstra mulai 2023. Menegaskan kembali tujuan ini sangat penting dalam konteks global krisis iklim dan energi,” kata Pannier-Runacher.
Salah satu hasil yang disambut dalam COP27 adalah tentang pembentukan mekanisme pendanaan untuk memberi kompensasi “kerugian dan kerusakan” kepada negara-negara rentan yang terdampak perubahan iklim. Hal itu disambut positif, terutama oleh negara-negara berkembang yang sedari awal memang menuntut adanya kompensasi akibat pencemaran oleh negara-negara kaya atau maju.
“COP ini telah mengambil langkah penting menuju keadilan. Saya menyambut baik keputusan untuk menetapkan dana kerugian dan kerusakan dan untuk mengoperasikannya di masa mendatang,” kata Antonio Guterres, dilaporkan laman UN News.
Meski pendanaan semacam itu penting, Guterres mengingatkan bahwa hal itu bukan jawaban untuk mengatasi krisis iklim. Dia kembali menyerukan tentang percepatan penghentian penggunaan batu bara secara bertahap dan membentuk kemitraan transisi energi ke energi terbarukan.
Negara-negara berkembang telah berulang kali membuat seruan tentang pembentukan dana kerugian dan kerusakan. Hal itu guna memberikan kompensasi kepada negara-negara paling rentan terhadap bencana iklim, tapi hanya berkontribusi kecil atas terjadinya krisis iklim.
Topik tentang pembentukan mekanisme pendanaan semacam itu tidak masuk dalam agenda diskusi ketika COP27 resmi dimulai pada 6 November lalu. “Pada awal pembicaraan ini kerugian dan kerusakan bahkan tidak masuk dalam agenda dan sekarang kita membuat sejarah,” kata Direktur Eksekutif Power Shift Africa Mohamed Adow.
“Itu hanya menunjukkan bahwa proses PBB ini dapat mencapai hasil, dan bahwa dunia dapat mengakui keadaan yang rentan tidak boleh diperlakukan sebagai sepak bola politik,” kata Adow menambahkan.
Kerugian serta kerusakan mencakup dampak iklim yang luas, mulai dari jembatan dan rumah yang hanyut dalam banjir bandang, hingga terancam hilangnya budaya atau bahkan seluruh pulau akibat naiknya permukaan laut.