Komnas Perempuan: Cabut Pasal Perkosaan dan Pelecehan Seksual dari Qanun Aceh
Komnas Perempuan menyebut pengaturan perkosaan, pelecehan seksual itu tindak pidana
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan mendukung Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk mengubah Pasal Qanun Hukum Jinayat demi perlindungan anak dan perempuan. Salah satu langkah strategisnya dengan mengeluarkan pasal perkosaan dan pelecehan seksual dari Qanun Jinayat.
DPRA sempat memberi peluang Komnas Perempuan mengeluarkan pandangan dalam pembahasan perubahan Qanun Hukum Jinayat melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi 1 DPRA pada Kamis 10 November 2022. Komnas Perempuan menyampaikan Pemerintah Aceh bertanggungjawab melindungi hak perempuan dan anak perempuan Aceh sesuai Pasal 231 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
"Komnas Perempuan mendorong penyelenggaraan otonomi khusus di Aceh menempatkan situasi pemenuhan HAM perempuan sekurang-kurangnya sesuai dengan standar nasional," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam keterangannya, Kamis (24/11).
Komnas Perempuan menegaskan pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual merupakan tindak pidana yang mempunyai pengaturan khusus di tingkat nasional seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, KUHP. Komnas Perempuan mengingatkan agenda utama perubahan Qanun Hukum Jinayat perlu bersifat koheren dengan di tingkat Nasional.
"Kemendagri dan Kemenkumham berkoordinasi dengan Pemerintah Aceh untuk memastikan pada pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual yang telah mempunyai pengaturan khusus di tingkat nasional, dikeluarkan dari pengaturan di dalam Qanun Jinayat," ujar Andy.
Komnas Perempuan mencatat beberapa persoalan serius terkait pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual dalam Qanun Hukum Jinayat terhadap situasi perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak di Aceh.
Pertama, adanya hambatan akses keadilan bagi korban, peluang impunitas pelaku karena adanya kewajiban sumpah dan beban pada korban untuk menunjukkan bukti permulaan serta adanya ancaman kriminalisasi melalui qazhaf ketika korban tidak dapat menghadirkan bukti sehingga berpeluang memberikan hukuman cambuk bagi korban (Pasal 52 Qanun Hukum Jinayat). Hal ini akan melahirkan reviktimisasi terhadap korban perkosaan atau pelecehan seksual.
Kedua, pengaturan perkosaan dan pelecehan seksual sebagai bentuk tindak pidana disamakan dengan bentuk pelanggaran jarimah atau pelanggaran lain di dalam Qanun Hukum Jinayat, khususnya perzinahan. Hal ini berisiko memosisikan perempuan dan anak korban kekerasan seksual sebagai pelaku pelanggaran.
"Padahal secara teori hukum Islam perkosaan dan pelecehan seksual berbeda dengan perzinahan. Dalam perzinahan kedua keduanya diperlakukan sebagai pelaku, sedangkan dalam kasus perkosaan dan pelecehan salah satunya pelaku dan yang lain korban," ucap Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfa Anshor.
Komnas Perempuan berikutnya menyinggung ketidakpastian jaminan pelindungan hukum bagi korban perkosaan dan pelecehan seksual. Hal ini mengingat bentuk hukuman menghadirkan kerentanan baru atau ancaman baru terhadap korban karena pelaku bisa saja segera kembali ke komunitas pasca eksekusi yang singkat.
"Minimnya upaya memastikan ketidakberulangan karena bentuk hukuman yang dipilih dan ketiadaan proses pembinaan terhadap pelaku," tegas Maria.