China Perketat Keamanan di Sejumlah Kota Menyusul Protes Meluas
Polisi China berpatroli mengawasi kota untuk mengantisipasi aksi protes lanjutan.
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pihak berwenang China memperketat pengamanan hingga memasang penghalang di sejumlah area pusat kota Shanghai dan Beijing pada Senin (28/11/2022). Selama akhir pekan lalu, dua kota terbesar itu menjadi titik lokasi aksi demonstrasi menentang diberhentikannya kendali penguncian ketat.
Pada Senin, jalan-jalan di Shanghai diblokir dengan penghalang logam biru guna mencegah kerumunan. Polisi dengan rompi visibilitas tinggi dilaporkan tengah berpatroli saat mobil polisi dan sepeda motor melintas.
Menurut keterangan staf toko di Shanghai, toko-toko dan kafe di daerah itu diminta untuk tutup. Sebelumnya pada Ahad (27/11/2022) malam, pengunjuk rasa bentrok dengan polisi di Shanghai yang membawa satu bus penuh orang.
Sementara di Beijing, polisi juga dilaporkan memperketat keamanannya pada Senin. Pihak berwenang di Beijing berpatroli di tempat-tempat para pengunjuk rasa melakukan aksi protes akhir pekan lalu.
Belakangan, di beberapa kota hingga sejumlah universitas, para pengunjuk rasa menunjukkan pembangkangan sipil yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak pemimpin Xi Jinping mengambil alih kekuasaan satu dekade lalu. Selama masa jabatannya, Xi telah mengawasi penumpasan perbedaan pendapat dan perluasan sistem pengawasan sosial berteknologi tinggi yang telah membuat protes menjadi lebih sulit dan lebih berisiko.
"Yang kami keberatan adalah pembatasan hak-hak orang atas nama pencegahan virus, dan pembatasan kebebasan individu dan mata pencaharian masyarakat," kata Jason Sun, seorang mahasiswa di Shanghai.
Pada Senin memang tidak ada tanda-tanda protes baru baik di Beijing atau Shanghai. Namun puluhan polisi berada di daerah di mana demonstrasi akhir pekan berlangsung.
Juru bicara kementerian luar negeri China Zhao Lijian menanggapi kemarahan warga yang meluas atas kebijakan nol Covid negaranya. "Apa yang Anda sebutkan tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi," katanya.
"Kami percaya bahwa dengan kepemimpinan Partai Komunis China, dan kerja sama serta dukungan rakyat China, perjuangan kami melawan COVID-19 akan berhasil," imbuhnya.
Reaksi terhadap pembatasan Covid China dinilai menjadi momok kemunduran bagi upaya China memberantas virus. Kebijakan nol Covid dinilai ampuh mempertahankan angka kematian resmi China dalam ribuan, dibandingkan dengan lebih dari satu juta di Amerika Serikat (AS).
Meski ada baiknya, kebijakan nol Covid China justru telah mengakibatkan jutaan orang terkurung dalam waktu yang lama di rumah dan membawa gangguan krisis ekonomi yang luas ke negara ekonomi terbesar kedua di dunia. Mengabaikannya berarti membatalkan kebijakan yang diperjuangkan oleh Xi. Para ahli menilai hal itu juga akan berisiko membanjiri sistem kesehatan dan menyebabkan penyakit dan kematian yang meluas di negara dengan ratusan juta lansia dan tingkat kekebalan yang rendah terhadap COVID.
Aksi protes massa kemudian mengguncang pasar global hingga Senin. Harga minyak menjadi lebih rendah dan dolar lebih tinggi, dengan saham China dan yuan jatuh tajam.
Media pemerintah tidak menyebutkan protes dalam beritanya, melainkan mendesak warga untuk tetap berpegang pada aturan Covid. Banyak analis mengatakan China tidak mungkin membuka kembali pembebasan gerak warga sebelum Maret atau April, dan membutuhkan kampanye vaksinasi yang efektif sebelum itu.
"Demonstrasi tidak segera mengancam tatanan politik yang ada, tetapi itu berarti campuran kebijakan Covid saat ini tidak lagi berkelanjutan secara politik," tulis analis di Gavekal Dragonomics dalam sebuah catatan.
"Pertanyaannya sekarang adalah seperti apa pembukaan kembali. Jawabannya adalah: lambat, bertahap, dan berantakan," tambahnya.
Kebijakan nol COVID China tetap menjadi sumber utama ketidakpastian bagi investor terlebih di pusat keuangan Shanghai. Mereka sekarang juga diawasi untuk tanda-tanda ketidakstabilan politik. Martin Petch, wakil presiden di Moody's Investors Service, mengatakan lembaga pemeringkat memperkirakan protes akan mereda dengan relatif cepat dan tanpa mengakibatkan kekerasan politik yang serius.
"Namun, mereka berpotensi menjadi kredit negatif jika dipertahankan dan menghasilkan respons yang lebih kuat oleh pihak berwenang," kata Petch.