Banjir Sumatra dan Kalimantan Ternyata Lebih Lama Surut Dibandingkan Jawa
Banjir yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan butuh 4-6 hari untuk surut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tren durasi banjir yang terjadi di Sumatra dan Kalimantan lebih lama dibandingkan banjir di Jawa. Meski di kawasan Jawa itu jauh lebih tinggi frekuensi kejadian banjir, tetapi durasi banjirnya cukup singkat yakni 1-2 hari langsung surut.
"Rata-rata durasi banjir di Sumatra dan Kalimantan 4-6 hari. Nah ini tentu saja menjadi perhatian kita, apa yang membuat banjir ini terjadi durasinya cukup lama," ujar Plt Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, dalam Disaster Briefing yang dikutip dari Youtube BNPB Indonesia, Selasa (29/11/2022).
Muhari mencontohkan 24 kejadian banjir yang terjadi selama sepekan dari 21-27 November 2022. Banjir dominan terjadi di seluruh Pulau Jawa yakni Jawa Tengah dan Jawa Timur, lalu Sumatra bagian tengah dan utara serta Kalimantan Selatan. Namun, dari 24 kejadian banjir selama sepekan ini ada juga beberapa wilayah yang banjirnya belum juga surut, yakni di Deli Serdang dan Langkat sejak 21 November lalu.
Selain itu, di Kabupaten Balangan dan Tabalong Kalimantan Selatan juga banjir yang melanda wilayah tersebut tak kunjung surut sejak 21 November lalu. "Kita coba membuat rerata durasi terjadinya banjir di Indonesia dan kita melihat trennya memang untuk Sumatra dan Kalimantan ini durasi banjir itu 4,5 sampai 6 hari," ujarnya.
Muhari menyampaikan faktor lingkungan lebih banyak menjadi penyebab banjir di Sumatera dan Kalimantan membutuhkan waktu cukup lama untuk surut. Muhari menyebut dua kemungkinan, pertama yakni perbedaan tinggi muka air hulu dan hilir sungai di Kalimantan yang tidak terlalu jauh.
Di Kalimantan Barat, misalnya, perbedaan tinggi hulu hilir sungai yang melintasi Sintang hingga Pontianak hanya sekitar 20 meter. Sedangkan panjang sungai ini berjarak ratusan kilometer.
Menurutnya, jika sepanjang daerah aliran sungai ini tidak cukup optimal untuk menyerap air, maka air tidak akan mengalir ke hilir jika air laut pasang.
"Maka ini seperti air tergenang saja, airnya tidak mengalir karena kita tahu air mengalir dari elevasi tinggi ke rendah, sedangkan ini elevasinya tidak terlalu jauh beda, kalau misalnya hilirnya juga airnya sedang pasang," ujarnya.
Karena itu, untuk mengatasi banjir di wilayah dengan karakteristik beda elevasinya tidak terlalu jauh, perlu diimbangi dengan daerah serapan air di sekitar aliran sungai.
Dia mengatakan, kecepatan surutnya air sangat bergantung dari optimal atau tidaknya daerah atau ekosistem sepanjang aliran sungai untuk menyerap air. "Ini sangat tergantung pada tutupan lahannya, kita tahu kondisi ideal dari sebuah daerah aliran sungai itu 30 persen itu harus merupakan kawasan hutan," ujar Muhari.
Sedangkan, untuk banjir di wilayah Sumatra, tidak berlaku karena perbedaan tinggi hulu hilirnya, melainkan kondisi drainase lokal. Sebab, karakteristik perbedaan tinggi hulu dan hilirnya cukup jauh.
Sehingga, fokus banjir di wilayah Sumatra ini bukan di sepanjang daerah aliran sungai tetapi di daerah sekitar pesisir. "Memang daerah sekitar pesisir yang memang daerah banjirannya, nah ini biasanya sangat bergantung pada kondisi drainase lokal baik primer, sekunder maupun tersier," ujarnya.
Selain itu, faktor lainnya adalah kondisi ekosistem di hulu yang tidak bagus. "Kalau kondisi ekosistem di hulu tidak bagus, maka secara otomatis air dari hulu itu akan langsung ke hilir menyebabkan penumpukan volume air di daerah banjiran tadi," ujarnya.