Puluhan Perempuan Pembela HAM Alami Kasus Kekerasan
Data kekerasan terhadap PPHAM merupakan fenomena gunung es.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas Perempuan menyoroti kasus kekerasan yang menyasar Perempuan Pembela HAM (PPHAM). Komnas Perempuan mendorong perlindungan PPHAM yang berjuang dalam situasi sulit dan berisiko.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan dalam rentang tahun 2015-2021 mengungkap 87 kasus kekerasan terhadap PPHAM yang diadukan secara langsung. Secara khusus terjadi kenaikan signifikan pada dua tahun ke belakang, tahun 2020 terdapat 36 kasus kekerasan, dan pada 2021 tercatat 23 kasus. Padahal pada 2019 hanya terdapat lima kasus.
"Data kekerasan terhadap PPHAM merupakan fenomena gunung es, diyakini serangan dalam berbagai bentuknya lebih besar dari yang dilaporkan," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam konferensi pers secara virtual pada Selasa (29/11/2022).
Komnas Perempuan menyebut serangan terhadap PPHAM juga terjadi melalui siber, seperti doxing, hacking (peretasan), stalking, persekusi, fitnah, dan serangan dos (denial-of-service) pada organisasi PPHAM atau media daring yang memberitakan atau mengangkat kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Bahkan keluarga PPHAM mengalami intimidasi dan ancaman sehingga kehilangan hak atas rasa aman dalam kehidupannya.
Komnas Perempuan mencatat 15 PPHAM dari berbagai sektor mengalami kriminalisasi yang terjadi sepanjang 2018- 2021. Hasil temuan Komnas Perempuan dalam kajian kriminalisasi PPHAM memperlihatkan pasal 27 dan 28 UU ITE seringkali dijadikan dasar dalam melakukan kriminalisasi terhadap PPHAM.
"Sayangnya, pembungkaman melalui ancaman, kekerasan, dan kriminalisasi, keberadaan PPHAM belum dilindungi," ujar Andy.
Komnas Perempuan menyebut pasal yang kerap disangkakan pada PPHAM yaitu Pasal 27 ayat 3, pasal 14 ayat 2, pasal 15 Undang-Undang ITE serta pasal 310, 311, dan Pasal 55 KUHP. Diantara kriminalisasi tersebut, tidak jarang PPHAM dianggap sebagai tuduhan pembuat makar dan provokatif terutama dalam kasus-kasus konflik sumber daya alam dan politik.
"Salah satu upaya perlindungan dapat dimulai dengan mengadopsi dan mengkontekstualisasikan instrumen-instrumen internasional yang mendukung kerja-kerja PPHAM dalam perangkat kebijakan nasional," ucap Andy.
Oleh karena itu, Komnas Perempuan memandang penting kehadiran PPHAM sebagai pengawal hak-hak asasi perempuan di berbagai konteks persoalan. Sehingga Komnas Perempuan merekomendasikan perlindungan terhadap PPHAM dalam menjalankan tugasnya. Komnas Perempuan juga mengeluarkan rekomendasi kepada sejumlah institusi negara sebagai berikut :
1. DPR RI mendorong penyusunan kebijakan perlindungan Pembela HAM dan merevisi kebijakan-kebijakan multitafsir yang menghambat aktivitas PPHAM.
2. Aparat Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan) untuk memperkuat pemahaman dan kapasitas terkait penanganan terhadap PPHAM dan tidak menggunakan aturan-aturan hukum untuk tujuan yang bertentangan dengan nilai keadilan dalam masyarakat.
3. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) untuk: (1) mensosialisasikan peran penting Perempuan Pembela HAM dan mendorong adanya kebijakan yang melindungi PPHAM; dan (2) melakukan pencatatan kekerasan terhadap PPHAM atau petugas P2TP2A dalam lingkup kerja-kerjanya.
4. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk membangun mekanisme perlindungan terpadu bagi PPHAM untuk menjawab kekosongan payung hukum nasional bersama Komnas Perempuan.
5. Organisasi atau lembaga yang melakukan kegiatan dalam lingkup Hak Asasi Manusia untuk melengkapi mekanisme kerja pembelaan hak asasi perempuan dengan sistem keamanan pembela HAM sebagai bagian pencegahan kekerasan dan kriminalisasi.
6. Media massa untuk terus memantau dan memberikan dukungan pada upaya-upaya perlindungan PPHAM.