NFA: Impor Pilihan Terakhir untuk Amankan Beras Tiga Bulan ke Depan
NFA menyebut opsi impor bisa jadi pilihan karena panen raya baru terjadi pada Maret
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, menuturkan, kebijakan impor beras menjadi pilihan terakhir untuk mengamankan beras dalam hingga musim panen di awal tahun depan. Kebijakan impor juga diputuskan bersama melalui rapat koordinasi terbatas demi mengamankan kebutuhan nasional.
Arief menyampaikan, produksi beras periode November-Desember berdasakan data Kerangka Sampel Area, Badan Pusat Statistik, produksi beras mencapai sekitar 3 juta ton. Sementara, kebutuhan dalam dua bulan itu diperhitungkan mencapai 5,06 juta ton sehingga terdapat defisit sekitar 2 juta ton.
Namun, jika diakumulasikan, produksi beras tahun 2022 diprediksi mencapai surplus sekitar 1,7 juta ton karena terdapat bulan-bulan yang mencapai puncak produksi tinggi.
"Bulan November-Desember ini memang kekurangan pasokan, tapi masih ada beras yang dihasilkan dari bulan-bulan sebelumnya. Ada stok yang bisa dibawa," katanya.
Hanya saja, Arief mengingatkan, musim panen raya baru tiba pada Maret 2023 mendatang. Oleh karena itu, opsi impor dilakukkan jika nantinya memang dibutuhkan untuk menjadi stok cadangan pemerintah di Bulog dalam mengamankan kebutuhan dalam negeri.
"Panen itu kan masih Februari-Maret. Jadi masih ada dua hingga tiga bulan ke depan yang harus diamankan. Jadi kita berpikir itu harus holistik. Bulog harus punya cadangan untuk intervensi di saat harga tinggi," katanya.
Perum Bulog menyatakan masih terus berupaya menyerap beras dalam negeri untuk memenuhi pasokan cadangan beras pemerintah (CBP) yang diklaim Kementan tersedia. Kementan mengklaim sebanyak 600 ribu ton beras tersedia dan dapat diserap oleh Bulog hingga Desember ini.
"Kita gerakkan seluruhnya dan sudah melakukan inventarisasi. Tidak tidak hanya by phone tapi datang ke tempat. Ada atau tidak," kata Sekretaris Perusahaan Bulog, Awaluddin Iqbal kepada Republika.co.id, Jumat (2/12/2022).
"Kita belum dapat informasi secara tertulis apakah semua sudah didatangi atau belum (oleh Bulog daerah) kita akan pastikan semua," ujarnya menambahkan.
Ia pun menjelaskan, pada periode akhir tahun memang waktunya bagi Bulog untuk melakukan penyerapan produksi beras secara besar-besaran. Periode puncak penyerapan biasa dilakukan pada Maret-Juni saat musim panen rendeng. Kemudian Agustus-September di musim panen gadu namun jumlahnya lebih kecil.
Adapun pada periode akhir tahun Bulog biasanya melakukan penyaluran beras karena tren produksi di akhir tahun memang minim. Penyaluran dilakukan terutama untuk menjaga stabilisasi harga agar tidak mengalami lonjakan.
Namun ia menegaskan upaya penyerapan beras oleh Bulog pada dua musim panen di tahun ini pun telah maksimal. Di satu sisi, tren konsumsi beras masyarakat cenderung tetap sekitar 2,5 juta ton hingga 2,6 juta ton per bulan sehingga terdapat persoalan dalam produksi.
"Harga tidak pernah bohong karena konsumsi pun flat," ujarnya.
Lebih lanjut, Awaluddin menegaskan, ketersediaan stok beras di akhir tahun memang selalu rendah. Kendatipun terdapat panen, bukan dalam skala masif.
Oleh sebab itu, jikapun nanti dilakukan impor ia meyakini tidak akan berpengaruh pada harga panen petani di dalam negeri karena stok yang memang minim.
"Periode November-Januari itu memang masa-masa kita lebih banyak mendistribusikan sedangkan penyerapan besar-besaran itu selalu periode Maret-Juni saat musim panen. Memang seperti itu polanya," kata dia.