Mengidap Polio, Cecilia Sukses Menjadi Dokter
Indonesia sempat mengalami KLB setelah ditemukan 1 kasus di Pidie Aceh.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Baru-baru ini Indonesia dinyatakan KLB Polio setelah ditemukan satu kasus di Pidie Aceh. Polio sendiri pernah menjadi momok menakutkan di abad ke-20 karena dampaknya yang sangat fatal pada balita.
Penyakit polio disebabkan oleh penularan virus Polio terutama secara faecal-oral yaitu lingkungan atau air yang terkontaminasi oleh tinja yang mengandung virus Polio. Kondisi lingkungan yang buruk juga dapat membawa virus Polio masuk ke dalam tubuh. Misalnya, perilaku Buang Air Besar (BAB) sembarangan, sungai atau air kotor tempat bermain anak.
Seperti yang dialami Cecilia Renny Padang. Polio menyerang dirinya pada usia 1 tahun 9 bulan. Diagnosis polio membuatnya tak bisa berjalan, Cecilia tertular virus dari sepupunya saat masih berusia 1,9 tahun, ia mendadak mengalami kejang hingga demam tinggi nyaris 40 derajat Celcius. Kala itu, vaksin polio memang belum tersedia.
Namun, keterbatasan itu tak menghalanginya menjadi seorang dokter yang sukses hingga saat ini. Di usianya ke-67 tahun, Cecilia masih praktik di beberapa rumah sakit. Bahkan, dokter kelahiran Manado itu juga aktif di organisasi kedokteran, saat ini ia menjadi Ketua IDI Cabang Jakarta Barat.
"Polio bukan batasan buat saya. Waktu saya terkena polio, vaksin belum ada. Jadi mewabah," ujarnya saat peluncuran buku "Hidup Bersama Polio-Sumbangsihku Bagi Bangsa dan Negara" di Jakarta, Sabtu (3/12/2022).
Ia pun menceritakan dukungan dari orang terdekatnya lah yang membuatnya memiliki semangat tak pantang menyerah. Penanganan yang cepat dari kedua orangtuanya juga membuat polio hanya menyerang kaki kiri Cecilia yang terlihat mulai mengecil dibandingkan bagian kanan.
"Polio ini sahabat saya. Bukan alasan bagi saya untuk tidak bisa bermanfaat bagi orang lain. Bahkan, orang tua dan lingkungan sekitar menjadi suport system yang baik untuk saya," tuturnya.
Dokter Reumatologi itu pun mengingat semasa kecil, orang tuanya tidak pernah membedakan. Justru mendorong anaknya untuk percaya diri. Orang tuanya juga mengupayakan pengobatan terbaik ke Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC) Surabaya dan operasi di YPAC Surakarta.
Saat itu, Cecilia sempat diarahkan untuk operasi rekonstruksi kaki, tetapi belum bisa dilakukan karena usianya masih terlalu dini. Pada akhirnya, ia hanya mendapatkan pelatihan bagaimana melakukan aktivitas dengan mengidap polio seperti latihan berjalan agar otot kakinya tetap bisa berfungsi meski didiagnosis polio.
"Itu agar kakinya tak ngesot terus," kata Cecilia.
Setelah sembilan bulan pengobatan tersebut kondisi Cecilia menunjukkan perkembangan pesat, yakni bisa berdiri dan berjalan meski kaki kirinya tampak 'menggelantung'. Cecilia baru bisa melakukan operasi rekonstruksi kaki beberapa tahun setelahnya, pada tahun 1963-1964. Pasca operasi, kaki kirinya dipasangi gips.
Ia juga bercerita teman-teman sewaktu sekolah dan kuliah pun menerima keadaanya. Ibu dua anak itu merasa beruntung memiliki teman yang tidak merundung. "Kondisi lingkungan yang baik, membuat saya seperti sekarang," ungkapnya.
Setiap kesulitan, dilihatnya menjadi sebuah tantangan. Misalnya, ketika ada kesempatan untuk kuliah ke University of Melbourne, Australia untuk mengambil pakar reumatologi dengan beasiswa.
Bukan tanpa alasan, Cecilia memilih spesialisasi reumatologi lantaran saat berpraktik di puskesmas Wawonasa, Sulawesi Utara ia mendapati banyak pasien mengidap asam urat hingga beberapa dari mereka mengalami kecacatan lantara tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
"Asam urat tak hanya menyerang sendi, bila dibiarkan bisa menyasar jantung, ginjal, hingga mata," ungkapnya.
Di tengah munculnya kembali polio dengan penetapan status KLB ia berharap banyak orang tua mengetahui seberapa pentingnya vaksinasi polio. Juga, bagi mereka penyandang polio, Cecilia berpesan agar tak menyurutkan semangat untuk bisa berprestasi di tengah keterbatasan.
"Keterbatasan bukan sebuah alasan untuk bisa meraih impian dan bermanfaat untuk sesama," pesan Cecilia.