Anak Bercita-cita Jadi Youtuber, Bagaimana Cara Mendukungnya?

Anak-anak dari generasi Alpha sebagian ingin menjadi Youtuber.

Pixabay
Logo Youtube di ponsel. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika anak bercita-cita menjadi Youtuber.
Rep: Desy Susilawati Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat ini, deretan cita-cita anak semakin panjang. Tak hanya ingin menjadi dokter, polisi, dan tentara, tapi banyak dari mereka juga memasukan youtuber sebagai salah satu cita-citanya.

Seiring perkembangan teknologi digital, tidak mengherankan generasi Alpha mempunyai cita-cita sebagai Youtuber. Hal ini sesuai dengan survei yang dilaksanakan oleh Mydoremi, fun-edutainment untuk anak.

Baca Juga


Orang tua anak umur empat sampai 12 tahun yang disurvei menyatakan bahwa anak mereka 48 persen bercita cita sebagai profesional (dokter, arsitek, astronaut, guru, atlet, chef, dan insinyur) dan 20 persen sebagai seniman, penyanyi, desainer fashion, model. Sementara itu, 13 persen lainnya ingin menjadi gamer dan youtuber serta lima persen pengusaha.

Psikolog anak dan keluarga Anna Surti Ariani menjelaskan ada banyak hal yang harus dipertimbangkan ketika anak bercita-cita menjadi Youtuber, baik dari sisi teknologi, kognitif, maupun emosional anak. Dari sisi teknologi, setidaknya orang tua dan anak harus paham fitur konten, misalnya bisa mematikan komentar warganet supaya komentar lebih positif.

Sementara itu, dari sisi emosional, sangat penting anak mematangkan dirinya agar tak gampang menyerah. Anak perlu memahamoi bahwa semua butuh berproses, mulai dari bikin konsep hingga menjadi sebuah produk yang layak ditayangkan.

"Itu proses. Dari situ anak belajar bersabar," ujar psikolog yang akrab disapa Nina dalam acara webinar Mydoremi: "Ayah Bunda Dukung Anak Berkreasi di Dunia Digital, Yuk" belum lama ini.

Sisi kognitif tak kalah pentingnya. Bagaimana anak berkreasi dan mematangkan idenya.

"Berarti, orang tua akan perlu kemampuan menggali ide anak," ujarnya.

Nina menjelaskan untuk memiliki akun, anak harus berusia minimum usia 13 tahun, menurut aturan media sosial. Artinya anak-anak dibawah usia itu harus pakai akun yang diketahui orang tua.

"Orang tua perlu terlibat dalam prosesnya."

Bagaimana dengan anak yang masih kecil, yang berusia dibawah lima tahun? Menurut Nina, anak boleh saja menjadi youtuber, bukan konten yang berisi sesuatu yang spontan dan ditayangkan untuk publik luas atau umum. Anak perlu diajarkan kemudian dilatih terlebih dahulu.

"Bukan tampilkan yang spontan. Ketika tayangan dibuat secara umum banyak reaksi muncul. Tidak berharap reaksi buruk bisa menetralkan ya dengan mencoba mengaktifkan apa yang akan ditayangkan," jelasnya.

Nina mengatakan, ketika anak mengunggah konten di Youtube, bisa saja kanalnya sepi peminat. Sebaliknya, bisa juga banyak yang menonton kontennya. Banyak peminat pun belum tentu semua positif untuk anak.

"Kalau sepi peminat, bicarakan pada anak bagaimana proses itu dijalankan. Coba tonton lagi lihat apa yang sudah bagus dan apa yang harus diperbaiki. Ajak anak diskusi dan dengarkan apa pendapat anak. Coba latihan lagi," kata Nina.

Selain itu, ajak anak untuk apa yang bisa dilakukan untuk menyebar link Youtube-nya agar ramai. Andaikan postingan meledak, jangan lupa bahwa ketenaran ada dampak psikologisnya.

"Kita perlu diskusi dengan anak, terutama ketika di luar ada yang colek-colek anak dan dadah-dadah, sementara anak sedang capek, sebaiknya lakukan apa?"

Orang tua, menurut Nina, dapat memberikan ide solusi. Misalnya, andaikan anak tidak berkenan dicolek, ia dapat memberitahukan kepada orang tuanya. Ia mengingatkan penting ada pendampingan ayah dan ibu ketika anak muncul di publik.

"Kasih tahu bunda supaya bunda yang bisa menyapa," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler