Memanusiakan “Manusia Perahu” Etnis Rohingya Di Aceh
Perlu penampungan untuk para pengungsi Rohingya.
Oleh : M. Nasir Djamil, Anggota Komisi Hukum DPR RI dari PKS.
REPUBLIKA.CO.ID, Saya tak ingat berapa kali etnis Rohingya asal Myanmar terdampar di pantai perairan Aceh. Ketidakingatan ini dikarenakan terlalu seringnya “manusia perahu” itu hadir tanpa diduga. Yang paling anyar, ratusan etnis Rohingya kembali terdampar di pesisir pantai Meunasah Lhok, Aceh Utara. Bedanya, kedatangan mereka kali ini mendapat penolakan dari warga. Penolakan ini bukan karena orang Aceh tidak punya perikemanusiaan, tapi karena ada banyak “sisi gelap” yang menghias cerita mereka selama berada di lokalisasi penampungan sementara. Bahkan, ada yang berujung pidana perdagangan manusia. Meskipun selama proses persidangan, muncul kontroversi terkait soal antara kemanusiaan dan kejahatan. Tapi palu hakim akhirnya memutuskan bahwa terdapat tindak pidana perdagangan manusia. Kini para pelaku tersebut menjalani hukumannya di penjara.
Apa yang dialami oleh kelompok muslim Rohingya bukanlah konflik etnis biasa. Tapi sudah mengarah ke genosida. Karena tidak heran jika apa yang dialami oleh etnis Rohingya sarat dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dan itu sudah berlangsung sejak tahun 1991 sampai sekarang. Tragedi buruk yang dialami oleh etnis Rohingya itu karena tidak diakuinya status kewarganegaraan mereka (stateless) oleh Pemerintah Junta Militer di Myanmar. Seperti api dalam sekam, etnis Rohingya mengalami dehumanisasi yang sangat parah. Puncaknya saat pembantaian itu diberitakan secara international pada tahun 2012. Terdamparnya 229 Rohingya di perairan laut Utara Aceh merupakan buntut konflik yang tak kunjung selesai.
Tanah Aceh yang “kenyang” dengan konflik berdarah sungguh bisa merasakan penderitaan Rohingya yang terapung tanpa ada kejelasan di tengah lautan yang ganas. Aceh memahami, sehingga bisa menumbuhkan empati dan tidak buru-buru memberikan penghakiman. Media internasional pernah memuji kebesaran hati warga Aceh yang menerima Rohingya saat negara lain menutup pintu perbatasannya, dengan dalih pandemi Covid-19 dan hal lainnnya. Warga lokal dan aparat keamanan setempat pergi menerjang ombak meraih tangan manusia perahu yang malang membawa mereka istirahat ke daratan. Inilah nilai kemanusian (Hak Asasi Manusia) yang diajarkan menjadi sebuah potret nyata kemanusian, juga yang tertulis dalam buku-buku tebal di rak perpustakaan.
Baca juga : Kasus Perceraian di Aceh Capai 6.823 Perkara, Didominasi Istri Gugat Suami
Sebelumnya, pada tanggal 15 dan 16 November 2022, kelompok pengungsi tersebut tiba dengan dua kapal terpisah dan ditampung di lokasi pendaratan. Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mendukung dan mengapresiasi Pemerintah Indonesia dan para mitra kemanusian terkait untuk memberikan bantuan yang sangat dibutuhkan kepada 229 pengungsi Rohingya yang diselamatkan di lepas pantai Aceh Utara.
Kepala Misi IOM di Indonesia, Louis Hoffmann mengatakan IOM tanggap terhadap kemanusiaan yang mencerminkan upaya bantuan dan perlindungan sebelumnya, terutama berfokus pada tempat tinggal, Kesehatan, perlindungan dan dukungan psikologis dan akan merefleksikan peran utama Pemerintah dalam membantu kelompok tersebut.
IOM Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mencegah dan melawan perdagangan orang, memperkuat perlindungan bagi tenaga kerja migram, meningkatkan pengurangan resiko bencana, serta mendukung sistem manajemen perbatasan terpadu dengan fokus khusus memeranngi virus Covid-19 saat ini.
Terkait perlindungan terhadap pengungsi, Pemerintah Indonesia dengan kantor Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsian (UNHCR) dan organisasi-organisasi kemanusian lainnya dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi, pengungsi yang kembali, atau pencari suaka, serta orang-orang lain yang menjadi perhatian.
Baca juga : Profil Achraf Hakimi, Lahir di Madrid dan Singkirkan Spanyol dari Piala Dunia 2022
Rohingya adalah segmen kecil dari populasi pengungsi dan pencari suaka namum jumlahnya semakin bertambah. Pada tahun ini ratusan Rohingya telah tinggal di sebuah kamp pengungsi di Provinsi Aceh dengan berbagai permasalahan yang ada, pengungsi dilaporkan hilang, diduga telah diseludupkan, atau berpotensi diperdagangkan ke negara tetangga Malaysia.
Pemerintah mengizinkan pengungsi untuk menetap sementara sambil menunggu pemukiman kembali secara permanen. Undang-undang mengakui peran UNHCR dalam memproses semua penentuan status pengungsi di Indonesia. Peraturan menetapan proses pengelolaan pengungsi yang terperinci, yang menguraikan tanggung jawab spesifik lembaga-lembaga nasional dan daerah mulai dari saat kedatangan pengungsi hingga keberangkatan untuk pemukiman kembali atau repatriasi.
Bertahan Hidup di Laut
Gambaran sebuah perjuangan bertahan di laut secara baik ditulis dalam sebuah novel oleh Yann Martel yang kemudian diadaptasi menjadi film berjudul The Life of Pi (2012) melalui kisah ini memberikan pencerahan mengenai perjuangan mengarungi lautan dan bertahan hidup. Sang tokoh utama Pi yang berusia 16 tahun bersama keluarganya meninggalkan India dan mencoba kehiduapan baru di Kanada karena akan mengalami kebangkrutan. Ayah Pi memesan tiket untuk satu keluarga beserta hewan-hewannya milik mereka yang rencananya akan dijual di Amerika Utara, mereka menaiki kapal barang Jepang yang bernama Tsimtsum.
Dalam perjalanannya, mereka mengalami badai yang sangat besar dan disaat itulah musibah besar yang dialami dan mungkin tidak akan terlupakan dalam hidup Pi adalah saat Pi tidak bisa menyelamatkan keluarganya yang tenggelam bersama kapal di palung mariana. Pi berhasil selamat karena awak kapal mengantarkannya ke sekoci terlebih dahulu. Dia selamat dengan 4 hewan kebun binatang yang tersisa di atas sekoci yaitu Zebra, Harimau, Hyena, dan Orang Utan. Pada kondisi yang terombang-ambing ombak di tengah laut Pasifik, keadaan mula menjadi sangat buruk. Terhitung bulan Pi bersama harimau tidak menyerah untuk tetap bertahan hidup selama mungkin sampai mereka tiba di Meksiko. Penulis skenario film tersebut John Patrick berkata “kesakitan membuat anda berpikir. Pikiran membuat anda bijaksana. Kebijaksanaan membuat kita bisa bertahan hidup.”
Baca juga : Relawan Desak Koalisi Perubahan Deklarasikan Anies Capres 2024
Scene film itu memberikan gambaran bahwa bertahan hidup di tengah lautan yang siap memeluk dan menyembunyikan segalanya ke dasar yang dingin dan gelap. Para pengungsi yang lari dari rumah dan tanah mereka adalah mereka yang berani untuk mencari kehidupan yang bisa menerima mereka. Mereka meninggalkan segalanya, cukup jiwa optimis dan “harapan” dalam ketidakpastian, pertaruhan hidup dan mati.
Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kepedulian yang baik terhadap pengungsi terkhusus Rohingya. Amnesty Internasional Indonesia, Nurina Savitri mengatakan pemerintah harus memastikan hak dasar ratusan etnis Rohingya. Pasalnya, mereka merupakan korban dari tragedi kemanusiaan yang terjadi di Myanmar. Jika merujuk hukum kebiasaan internasional, ada prinsip non-refoulement yang mengatur bahwa negara tidak boleh mengirim kembali para pengungsi dan pencari suaka ke tempat di mana nyawa mereka terancam, termasuk mendorong mereka kembali ke laut.
Pemerintah Indonesia punya tanggung jawab bersama di antara negara-negara kawasan untuk membuat respons kemanusiaan bersama. Untuk menyelamatkan pengungsi Rohingya yang selama beberapa tahun terakhir mengalami kondisi sulit.
Kapal-kapal Rohingya sejak 2009 sering terdampar di perairan Aceh, penangananya masih dilakukan secara emergency. Untuk itu perlu pertimbangan dari Pemerintah Pusat bisa menetapkan Aceh menjadi tempat khusus penanganan pengungsi luar negeri seperti Provinsi Sumatra Utara dan Riau. Jika nantinya Aceh menjadi tempat resmi penampungan maka pihak NGO baik UNHCR maupun IOM dapat menyediakan tempat penampungan untuk pengungsi, tidak perlu lagi menggunakan fasilitas pemerintah. Apresiasi kepada TNI, polisi, Pemerintah Daerah, pemerintah gampong dan masyarakat secara umum yang telah bersama-sama membantu 229 pengungsi Rohingya sejak kedatangannya sampai hari ini.