Pigai: Putusan Sidang Paniai Hanya Sepihak
Aktivis HAM dari Papua Natalius Pigai menilai putusan sidang Paniai hanya sepihak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aktivis Kemanusiaan asal Papua yang juga mantan Komisioner Komnas Gak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menekankan putusan Pengadilan HAM di Makassar terkait kasus Paniai merupakan proses hukum sepihak. Menurut dia, Pengadilan HAM yang digelar itu sangat tidak memenuhi rasa keadilan keluarga korban.
"Kami tidak pernah ikut amini proses pengadilan soal paniai. Tidak ada keluarga yang ikut serta dalam proses hukum itu, sehingga seharusnya Pemerintah tidak lakukan proses hukum. Karena ini proses hukum sepihak," kata Pigai kepada wartawan, Jumat (9/12/2022).
Alasannya menyebut proses hukum itu adalah pengadilan sepihak, memang tidak ada pihak keluarga yang dilibatkan di pengadilan itu. Dan Pigai menegaskan sejak awal pengadilan itu tanpa keterlibatan keluarga korban.
"Termasuk juga tanpa didampingi aktivis hak asasi manusia termasuk saya," katanya.
Pigai menyebut kasus Paniai adalah pelanggaran HAM yang melibatkan banyak kesatuan. Sehingga, menurut dia, lebih tepatnya dalam konteks kejahatan HAM adalah tindakan joint criminal enterprise.
"Ada unsur komando, pelakunya TNI AD, Paskas AU, Kesatuan Tempur dan Teritorial serta Polisi. Jadi kalau (disidang) pelakunya hanya satu, tidak mungkin. Karena itu kami anggap tidak ada pengadilan," tegasnya.
Sebagaimana diketahui Pengadilan HAM kasus Paniai 2014 di Papua di gelar pada Kamis 8 Desember 2022, di Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Dalam putusan pengadilan membebaskan Isak Sattu, mantan perwira militer, dari semua tuduhan kejahatan kemanusiaan.
Beberapa tuduhan seperti pembunuhan, dianggap sesuai tanggung jawab komando dalam peristiwa di Paniai 2014, Papua. Terdakwa bertugas sebagai petugas penghubung di Komando Distrik Militer (Kodim) Paniai saat kejadian.
Kasus Paniai meliputi dua kejadian terpisah di mana aparat keamanan membunuh empat orang dan melukai 21 orang lainnya di Kabupaten Paniai pada tanggal 7 dan 8 Desember 2014.
Peristiwa 7 Desember 2014 itu merujuk pada penganiayaan yang diduga dilakukan oleh anggota Tim Khusus Yonif 753/AVT terhadap 11 anak-anak asli Papua yang berusia antara 10-16 tahun di Pondok Natal KM 4 Jalan Tol Madi-Enarotali Timur, Kecamatan Paniai, Kabupaten Paniai.
Sementara itu, dalam peristiwa di Lapangan Karel Gobay, pada 8 Desember 2014, empat warga asli Papua tewas dan 10 lainnya luka-luka akibat tembakan dari markas Komando Rayon Militer (Koramil) Enarotali. Korban termasuk pengunjuk rasa yang memprotes insiden sebelumnya.
Dalam putusannya, majelis lima panel itu menegaskan pembunuhan yang dilakukan anggota militer terhadap warga sipil di Paniai merupakan “serangan sistematis” dan karenanya merupakan kejahatan kemanusiaan. Namun, pengadilan berpendapat bahwa Isak, sebagai petugas penghubung, tidak memiliki wewenang efektif untuk mengendalikan pasukan ketika penembakan terjadi pada 8 Desember 2014.
Saat itu, kata pengadilan, perintah masih ada di Komandan Sub Enoratoli Komando Distrik Militer (Koramil) meskipun dia tidak ada di kantor saat kejadian. Dua dari lima hakim di panel memberikan pendapat berbeda, dengan alasan fakta bahwa terdakwa adalah perwira militer berpangkat tertinggi di Koramil Enarotali.
Hal ini menyiratkan bahwa ia dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas kegagalannya mengambil tindakan yang diperlukan. Termasuk untuk mengawasi dan mengamankan pengetahuan tentang perilaku pasukan, atau setidaknya menginformasikan pelanggaran ke pejabat yang lebih tinggi untuk diselidiki.
Korban dan keluarga korban kasus Paniai 2014 sebelumnya mengkritik proses hukum tersebut, dengan alasan Kejaksaan Agung hanya mengadili satu tersangka. Sementara tidak ada dakwaan yang diajukan terhadap pejabat tinggi keamanan dan mereka yang diduga langsung. pelaku. Mereka juga menolak untuk mengikuti persidangan di pengadilan HAM.