MA Didesak Lebih Terbuka dan Libatkan KY untuk Awasi Hakim
Mafia peradilan bisa dilihat dari putusan yang mengandung kejanggalan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman mendesak Mahkamah Agung (MA) membuka diri soal pengawasan kinerja anggotanya. Hal ini karena sejumlah hakim agung, hakim yustisial, dan pegawai MA ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dugaan suap penanganan perkara.
Menurut Zaenur, MA perlu melibatkan pihak eksternal untuk pengawasan, khususnya dari Komisi Yudisial (KY). "Kita melihat selama ini MA terlihat ada resistensi terhadap pengawasan dari KY. Misalnya dengan mengatakan bahwa pengawasan itu tidak bisa masuk kepada substansi perkara," kata Zaenur saat dihubungi Republika.co.id, Senin (19/12/2022).
"Padahal kita tahu, kejanggalan-kejanggalan judicial corruption, mafia peradilan itu bisa dilihat salah satunya dari putusan yang itu mengandung kejanggalan-kejanggalan, tetapi kalau itu ditolak, dianggap bahwa itu akan mempengaruhi independensi hakim, ya menurut saya selama itu tetap ditolak, maka pihak pengawas eksternal itu akan selalu mengalami hambatan," imbuhnya.
Selain melibatkan KY, menurut Zaenur, DPR dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) selaku pembentuk undang-undang juga perlu segera memercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait jabatan hakim. Dia menilai, hal ini sangat penting dilakukan karena dalam RUU itu mengatur mengenai rekruitmen, pembinaan, pengawasan, kesejahteraan, kedudukan hakim di dalam ketatanegaraan, dan status hakim secara lengkap.
"Sehingga itu akan semakin bisa memperjelas jaminan bagi hakim di Indonesia," ujarnya.
Sementara itu, sambung dia, di pihak internal MA sendiri pun harus melakukan pembinaan dan pengawasan. Dia mengumpamakan, dua hal ini layaknya sisi pada satu keping mata uang. "Harus selalu diingatkan dari pimpinan masing-masing satuan kerja di MA untuk mengingatkan anggotanya tidak melakukan korupsi," ungkap dia.
Zaenur menyampaikan, setiap pimpinan harus melakukan pengawasan. Bahkan, menurutnya, jika ada hakim maupun nonhakim di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga MA yang terbukti melakukan rasuah, maka pimpinan dari masing-masing satuan kerja tersebut perlu ikut bertanggung jawab.
Dia menjelaskan, bentuk pertanggungjawaban pimpinan itu bisa berupa pencopotan atau mundur dari jabatannya. Hal ini juga sebagai bentuk penegakan atas peraturan dan kode etik.
Meski demikian, pada tingkat MA, jabatan ketua tidak dapat dicopot, tetapi mengundurkan diri. Sebab, kekuasaan kehakiman bersifat merdeka dan mandiri.
"Kan tidak mungkin kita mencopot Ketua MA. Tapi yang bisa dilakukan adalah pertanggungjawaban dari instutusi tertinggi MA itu untuk mengakui kesalahan, meminta maaf dan menyiapkan program program perbaikan kedepan," jelas dia.
Selain itu, sambung dia, kesejahteraan hakim dan nonhakim juga menjadi salah satu poin penting yang diperhatikan. Terutama posisi nonhakim, yakni panitera, panitera pengganti, juru sita, dan pegawai lainnya.
Zaenur mengungkapkan, kesejahteraan nonhakim harus diperhatikan lantaran mereka merupakan 'pintu masuk' yang berhubungan langsung dengan pihak berperkara. "Karena justru dari para pegawai itu lah awal mulanya para pihak itu berkomunikasi. Mafia perkara itu selalu melibatkan pegawai pegawai di tingkat rendah. Justru mereka lah menjadi loket pertama dari mafia peradilan yang melakukan pengaturan perkara," ujarnya.
"Sehingga kesejahteraan dari para pegawai MA, nonhakim juga harus diperhatikan. Tapi untuk hakim agung, saya lihat mereka sudah sangat sejahtera. Sehingga bukan lagi isu kesejahteraan yg menjadi sebab," tambahnya menjelaskan.