China Kesulitan Hadapi Wabah Covid-19

Para ahli memperkirakan China akan menghadapi bulan-bulan sulit ke depan.

EPA-EFE/ALEX PLAVEVSKI
Orang-orang berdiri di klinik demam darurat di depan rumah sakit, di Shanghai, China, 23 Desember 2022. Rumah sakit di China kesulitan untuk mengatasi karena meningkatnya jumlah kasus COVID-19.
Rep: Dwina Agustin Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, BAZHOU -- Hampir tiga tahun setelah pertama kali diidentifikasi di China, virus Corona kini tetap bertahan di daratan tersebut. Para ahli memperkirakan bulan-bulan sulit ke depan bagi 1,4 miliar warganya.

Pendekatan zero-Covid China yang bertujuan mengisolasi semua orang yang terinfeksi ternyata membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bersiap menghadapi penyakit itu.

Baca Juga


Pembukaan kembali wilayah secara tiba-tiba pada 7 Desember telah membuat negara tersebut kurang siap dalam jumlah warga yang divaksinasi dan kekurangan kapasitas rumah sakit.

Para ahli memperkirakan antara satu juta hingga dua juta kematian tahun depan. Namun prediksi angka kematian terbukti rumit selama pandemi, karena dipengaruhi oleh berbagai faktor.  China tidak membagikan informasi secara jelas terkait jumlah korban.

Bahkan hingga saat ini tidak jelas seberapa besar wabah tersebut menyebar di Daratan, karena China telah mengurangi pengujian dan berhenti melaporkan sebagian besar kasus ringan.

Namun di kota-kota besar dan kecil di sekitar Baoding dan Langfan Provinsi Hebei, wartawan Associated Press melihat unit perawatan intensif rumah sakit kewalahan oleh pasien dan permintaan ambulans ditolak. Di seluruh negeri, laporan luas tentang ketidakhadiran kerja, kekurangan obat penurun demam, dan staf yang bekerja lembur di krematorium menunjukkan bahwa virus telah menyebar luas.

China memiliki tingkat vaksinasi yang lebih tinggi daripada Hong Kong pada saat wabah omicron, tetapi banyak orang rentan terhadap infeksi, terutama orang tua. Negara ini secara eksklusif menggunakan vaksin buatan dalam negeri, yang mengandalkan teknologi lebih tua daripada vaksin mRNA yang digunakan di tempat lain.

Sebuah studi yang dilakukan di Hong Kong yang telah memberikan vaksin mRNA dan CoronaVac Sinovac asal China menyarankan, bahwa CoronaVac memerlukan suntikan ketiga untuk memberikan perlindungan sebanding, terutama bagi orang tua. Sementara vaksin mRNA cukup dua suntikan, dengan penguat opsional.

Kebanyakan orang yang divaksinasi di China telah menerima CoronaVac atau vaksin serupa yang diproduksi oleh SinoPharm. Tiongkok dilaporkan telah memberikan setidaknya lima vaksin lain.

Sementara China menghitung 90 persen dari populasinya divaksinasi, hanya sekitar 60 persen yang telah menerima vaksin ulangan. Orang yang lebih tua kemungkinan besar belum mendapatkan vaksin booster.

Menurut kantor berita resmi pemerintah China Xinhua, lebih dari sembilan juta orang yang berusia di atas 80 tahun belum mendapatkan vaksin ketiga.

Tingkat vaksinasi telah meningkat lebih dari 10 kali lipat, hingga lebih dari satu juta dosis yang diberikan setiap hari sejak awal bulan. Namun ilmuwan yang mempelajari virus di Christian Medical College India di Vellore Dr. Gagandeep Kang mengatakan, memprioritaskan orang tua akan menjadi kuncinya.

Direktur pendiri kantor Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC AS) di Cina Ray Yip menyatakan, tidak seperti negara lain, China memprioritaskan memvaksinasi anak muda yang lebih banyak beraktivitas untuk mencegah penyebaran virus. Vaksinasi yang menargetkan kelompok berusia di atas 60 tahun dimulai pada Desember, tetapi tidak jelas seberapa suksesnya.

"Mereka tidak memberikan perhatian yang cukup untuk memastikan semua orang mendapatkan perlindungan vaksin penuh. Seberapa baik mereka melakukan upaya pengejaran khusus ini mungkin menentukan beberapa hasilnya,"  kata Yip.


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler