Kasus Suap di MA Dinilai Pertanda Terpuruknya Hukum

Kasus penanganan perkara menandakan perlunya perbaikan hukum secara komprehensif.

Republika/Thoudy Badai
Hakim Yustisial Edy Wibowo mengenakan rompi tahanan KPK setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus penanganan perkara di MA, Senin (19/12/2022).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jimly School of Law and Government (JSLG) menyoroti kasus dugaan suap pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA). JSLG memandang kasus itu menandakan perlunya perbaikan hukum secara komprehensif, terutama soal rekrutmen hakim di MA.

Direktur JSLG, Muhammad Muslih mengungkapkan keprihatinan atas kasus yang sangat menyita perhatian masyarakat tersebut. Terlebih, kasus ini menyeret dua Hakim Agung dan sejumlah pegawai MA lainnya.

"Operasi tangkap tangan Hakim Agung oleh KPK menyeret oknum pengacara, para pejabat, ASN, dan Hakim Agung lainnya di Mahkamah Agung, mengindikasikan bahwa hukum kian terpuruk," kata Muslih dalam konferensi pers catatan akhir tahun JSLG pada Jumat (23/12/2022).

Muslih mengkhawatirkan kasus tersebut menyebabkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Sebab, ia merasa publik sudah dapat menilai sendiri kinerja penegak hukum lewat kasus itu.

"Krisis etika dan integritas aparat penegak hukum maupun penyelenggara negara, membawa konsekuensi pada hilangnya kepercayaan publik kepada lembaga peradilan dan aparat penegak hukum," ujar Muslih.

Atas kasus tersebut, JSLG mendukung dilakukannya perubahan dalam sistem rekruitmen calon hakim di lingkungan peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Rekruitmen harus melibatkan Komisi Yudisial. Kemudian, promosi, mutasi, dan sistem pemberhentian hakim harus sesuai dengan aturan.

Muslih menilai perlu penguatan peran KY dalam rekrutmen hakim agar bisa mendapat hakim MA terbaik. Salah satu caranya membuat Komisi III sebagai stempel dari hakim yang sudah dipilih KY berdasarkan hasil seleksi.

"Biar DPR tinggal menetapkan bukan memilih yang diusulkan KY. Komisi 3 harusnya cuma setujui. Kalau itu bisa dilakukan, maka bisa percaya proses di KY terbuka, transparan," kata Muslih.

Muslih mengamati dalam proses seleksi di DPR seringkali masih diwarnai kepentingan. Sehingga siapa saja yang punya kedekatan dengan kekuasaan atau Komisi III bisa lebih mungkin terpilih. "Ini untuk antisipasi hakim-hakim yang punya etika kurang tidak lolos di saringan terakhir di DPR RI," kata Muslih.

KPK telah menetapkan 10 tersangka kasus dugaan suap pengurusan perkara di MA. Enam tersangka selaku penerima suap ialah Hakim Agung nonaktif Sudrajad Dimyati (SD), Hakim Yustisial/Panitera Pengganti MA Elly Tri Pangestu (ETP), dua PNS Kepaniteraan MA Desy Yustria (DY) dan Muhajir Habibie (MH), serta dua PNS MA Nurmanto Akmal (NA) dan Albasri (AB). Empat tersangka pemberi suap adalah dua pengacara, Yosep Parera (YP) dan Eko Suparno (ES), serta dua debitur KSP Intidana, Heryanto Tanaka (HT) dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto (IDKS).

KPK kembali menetapkan tiga tersangka lain dalam pengembangan perkara tersebut. Ketiganya adalah Hakim Agung Gazalba Saleh, Prasetio Nugroho (PN) selaku Hakim Yustisial/Penitera Pengganti pada Kamar Pidana dan asisten Gazalba, dan Redhy Novarisza (RN) selaku staf Gazalba.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler