Mengapa Manusia Menyayangi Sebagian Hewan tapi Tega Menyantap Lainnya?

Fokus utamanya adalah mengkaji gagasan manusia tentang moralitas dan pola konsumsi.

ANTARA/Ari Bowo Sucipto
Peternak memberi makan ayam petelur peliharaannya di Malang, Jawa Timur, Rabu (16/6/2021). Mengapa Manusia Menyayangi Sebagian Hewan tapi Tega Menyantap Lainnya?
Rep: Shelbi Asrianti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Manusia menyukai atau menyayangi sebagian spesies hewan sebagai sahabat, tetapi tidak ragu membunuh atau menyantap sebagian yang lain. Hal itu menjadi hal yang dieksplorasi oleh para ilmuwan dalam disiplin ilmu baru bernama anthrozoologi.  

Baca Juga


Fokus utamanya adalah mengkaji gagasan manusia tentang moralitas dan pola konsumsi yang membentuk interaksi antara manusia dan hewan. Misalnya, seseorang mungkin percaya membunuh salah satu jenis hewan untuk diambil bulunya adalah bentuk penyiksaan.

Pada saat yang sama, manusia tidak ragu memancing, menyantap hidangan hewani, atau mendukung penelitian pembedahan untuk tujuan medis. Semua itu merupakan wujud sikap bias dan tidak konsisten dari manusia tentang hewan secara umum.

Sebuah studi berusaha lebih memahami hubungan yang rumit tersebut. Para ilmuwan yang terlibat dalam penelitian berasal dari Universitas James Cook di Singapura dan Universitas James Cook di Australia, yang merancang sebuah kuesioner daring.

Mereka menganalisis persepsi para peserta terhadap 16 hewan yang dikenal secara umum. Ada harimau, lumba-lumba, anjing, kuda, orangutan, sapi, babi, ayam, domba, tuna, udang, gurita, buaya, kelinci, hiu, dan katak. Survei didasarkan pada Stereotype Content Model (SCM) yang menyoroti bidang psikologi sosial.

Peserta survei direkrut dari tiga sumber. Sebanyak 42 orang adalah anggota Vegetarian Society of Singapore, 76 orang adalah anggota Animals Concerns Research and Education Society (ACRES) of Singapore, dan 205 lainnya adalah mahasiswa yang terdaftar di universitas swasta di Singapura. 

Usia rata-rata peserta survei adalah 26 tahun, terdiri dari beragam etnis dan memiliki agama berlainan. Para peneliti mengidentifikasi vegetarian dan aktivis sebagai 'absolutis', di mana segala sesuatunya benar atau salah, terlepas dari konteksnya.

 

Sementara, individu yang bukan vegetarian atau aktivis hewan ditentukan berada di kelompok netral. Anehnya, kedua kelompok memiliki persepsi yang hampir sama tentang hewan. "Peserta menilai 16 spesies hewan secara signifikan berbeda pada dimensi kehangatan dan kompetensi," kata penulis utama studi, psikolog Paul Patinadan.

Semua peserta survei merasakan "kehangatan" emosi tentang anjing, kuda, dan orang utan, tetapi tidak untuk aligator, gurita, tuna, katak, dan udang. Menurut peserta survei, hewan yang layak diselamatkan adalah harimau, hiu, dan lumba-lumba (untuk kekuatan dan kompetensinya).

Sementara, kelinci, sapi, dan domba dianggap agak tidak kompeten dan tidak terlalu dicintai. Orang-orang di kelompok absolut dan netral setuju apa yang disebut 'hewan yang layak dijadikan makanan' cenderung kurang berakal daripada hewan peliharaan.

Dengan demikian, kelompok itu 'tidak memiliki hak' dan kurang pantas mendapatkan perhatian moral. Orang-orang memandang babi sebagai hewan yang tidak terlalu menyenangkan. Hiu juga tidak disukai oleh peserta penelitian. Sementara, ayam cenderung disukai kelompok vegetarian dan aktivis hewan daripada mahasiswa.

Temuan menarik lain adalah kelompok orang yang heterogen secara moral seperti vegetarian, aktivis hewan, dan mahasiswa cenderung memiliki stereotip sama tentang keragaman hewan dalam penelitian. Sangat mungkin persepsi orang tentang hewan bervariasi antarbudaya, sehingga para peneliti juga hendak menganalisis persepsi dalam konteks budaya masyarakat lain.

"Memahami penilaian moral manusia terhadap hewan mungkin membantu untuk akhirnya menentukan sifat interaksi manusia dengan makhluk yang berbagi dunia dengan kita," ujar Patinadan, dikutip dari Forbes, Sabtu (24/12/2022).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler