Media Massa Dituntut Bermetamorfosa dalam Menyajikan Produk Jurnalistik
Digitalisasi membuat banyak orang malas membaca buku atau koran.
REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Pakar komunikasi Universitas Airlangga (Unair) Suko Widodo menilai banyaknya media cetak yang berhenti terbit merupakan hal yang normal, utamanya di zaman serba digital seperti saat ini. Hal tersebut, lanjut Suko, adalah konsekuensi dari perubahan zaman akibat teknologi informasi.
"Jadi itu (berhentinya penerbitan media cetak) hal yang lumrah, perubahan media. Jika di masa silam itu sifatnya manual, sekarang sudah menjadi digital," kata dosen Departemen Komunikasi Unair tersebut, Kamis (29/12/2022).
Suko menjelaskan, saat ini media massa memasuki generasi ketiga yang ditandai dengan menurunnya penggunaan kertas di industri media massa. Generasi pertama, lanjutnya, terjadi pada abad ke-17-18 dengan munculnya media cetak berupa koran. Sedangkan, generasi kedua terjadi dua abad setelahnya di mana mulai muncul media penyiaran berupa radio dan televisi.
"Sekarang itu pada level internet. Generasi ketiga ini cenderung online. Ketika generasi ketiga online ini maka terjadi paperless," ujarnya. Situasi ini, lanjut Suko, menyebabkan tidak adanya konektivitas antara kultur industri media cetak dengan masyarakat informasi di zaman ini.
Suko mengatakan, digitalisasi saat ini membuat banyak orang malas membaca buku atau koran sebab mereka bisa memperoleh informasi dengan bobot yang sama hanya dengan bantuan gawai. Selain itu, produk media cetak juga dianggap memakan tempat sehingga dicap tidak praktis oleh masyarakat.
Guna menghadapi selera konsumsi masyarakat yang terus berubah, Suko menyarankan agar industri media cetak mampu bermetamorfosa dalam menyajikan produk jurnalistiknya.
"Kalau mau penerbitan itu eksis, maka mau tidak mau ia juga harus bermetamorfosa ke dalam bentuk online. Jadi, munculkan konten kreator dan desain-desain digital. Di-metamorf(osa) sehingga jadi virtual," kata Suko.
Pola adaptasi ini, terang Suko, telah dipraktikkan The New York Times sejak 2015. Mulai 2015, The New York Times sudah menempatkan produk digital sebagai yang utama. "Kalau sudah online, digital kan, nggak perlu pakai cetak. Nggak apa-apa," kata Suko.