Mengenal Dua Jenis Riba yang Sama-Sama Haram Hukumnya

Riba terdapat pada jual beli dan pada sesuatu yang ditetapkan dalam tanggungan.

republika
Mengenal Dua Jenis Riba yang Sama-Sama Haram Hukumnya
Rep: Imas Damayanti Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ulama sepakat riba terdapat pada dua hal, yakni pada jual beli dan pada sesuatu yang ditetapkan dalam tanggungan berupa penjualan atau pinjaman atau hal yang selain itu.

Baca Juga


Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid menjelaskan bahwa riba dalam tanggungan pun terdiri ats dua jenis yang telah disepakati. Yakni, yang lazim disebut sebagai riba jahiliyah yang dilarang. Sebab orang-orang jahiliyah dahulu biasa memberikan pinjaman dengan mengambil tambahan melalui penundaan pembayaran.

Mereka berkata, "Beri aku penundaan maka aku akan memberikan tambahan untukmu,". Dan inilah yang dimaksud sabda Nabi yang beliau nyatakan dalam momentum haji wada, "Ala wa inna riba al-jahiliyyah maudhu'un wa awwalu ribban adho'ufu ribal-abbasi-bni abdil-muthallib,". Yang artinya, "Ingatlah sesungguhnya riba jahiliyah itu telah dihapuskan, dan riba pertama yang aku hapuskan adalah riba al-Abbas bin Abdul Muthalib,".

Kedua, jenis riba yang disinggung dalam hadits, "Hapuskan dan bersegeralah". Inilah yang lazim disebut riba nasi'ah yang diperselisihkan oleh para ulama. Adapun demikian, para ulama sepakat riba dalam jual beli juga terdiri atas dua jenis. Yakni riba nasi'ah atau riba dengan penundaan pembayaran, dan riba tafadhul atau riba dengan pelebihan pembayaran.

Kecuali apa yang telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas terkait dengan pengingkarannya terhadap riba tafadhul berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya beliau bersabda, "La riba illa finnasi-ati,". Yang artinya, "Tidak ada riba sama sekali kecuali pada riba nasi'ah,".

Kedua jenis riba inilah yang dipegangi oleh mayoritas ulama ahli fikih. Karena jelas-jelas disinggung dalam riwayat Nabi Muhammad SAW. Namun, untuk memahami lebih lanjut tentang riba, ulama fikih membaginya menjadi empat bagian.

Pertama, tentang hal-hal yang tidak boleh ada selisih sebagai konsekuensi penundaan berikut penjelasan dan alasan-alasannya. Kedua, tentang hal-hal yang boleh ada selisih, tetapi tidak boleh ada penundaan.

Ketiga, tentang hal-hal yang bisa dianggap satu macam. Keempat, tentang hal-hal yang tidak bisa dianggap satu macam.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler