Jerman Catatkan Inflasi Tertinggi dalam 70 Tahun pada 2022
Lonjakan harga energi dan pangan buat inflasi tahunan Jerman capai 7,9 persen
REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN – Kantor Statistik Federal Jerman, pada Selasa (3/1/2023) mengungkapkan, negara tersebut telah mencatatkan inflasi tahunan tertinggi dalam lebih dari 70 tahun terakhir. Lonjakan harga energi dan pangan akibat konflik di Ukraina membuat inflasi tahunan Jerman pada 2022 mencapai 7,9 persen.
Terakhir kali Jerman mencatatkan inflasi sebesar itu yakni pada 1951. Kala itu inflasi di sana mencapai 7,6 persen. Data Kantor Statistik Federal Jerman menunjukkan, pada Desember 2022, inflasi di negara tersebut agak melambat menjadi 8,6 persen dibandingkan bulan yang sama pada 2021.
Perlambatan itu terjadi karena Jerman mulai menyalurkan bantuan tunai untuk membantu warga membayar tagihan gas dan pemanas. Pada Oktober 2022, inflasi bulanan telah mencapai rekor 10,4 persen sebelum akhirnya turun menjadi 10 persen di bulan November.
Kenaikan harga telah menggerus daya beli konsumen. Banyak serikat pekerja Jerman telah berhasil mengampanyekan kenaikan gaji yang lebih tinggi dari rata-rata dalam beberapa bulan terakhir untuk mengimbangi dampak inflasi.
Sementara itu, angka pengangguran di Jerman naik tipis pada Desember, yakni menjadi 2,45 juta orang atau 5,4 persen. Itu adalah sekitar 0,1 poin persentase lebih tinggi dibandingkan bulan November, meskipun kenaikan tersebut tidak biasa pada akhir tahun karena kontrak sementara berakhir.
Angka pengangguran rata-rata di Jerman selama setahun penuh pada 2022 mencapai 2,42 juta, hampir 200 ribu lebih sedikit dibandingkan 2021. Pada 1 Januari lalu, Direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan, untuk sebagian besar ekonomi global, 2023 akan menjadi tahun yang sulit. Hal itu karena mesin utama pertumbuhan global, yakni Amerika Serikat (AS), China, dan Uni Eropa, mengalami perlambatan secara bersamaan.
“Tahun baru akan menjadi lebih sulit daripada tahun yang kita tinggalkan. Mengapa? Karena tiga ekonomi besar, AS, Uni Eropa, dan Cina, semuanya melambat secara bersamaan,” kata Georgieva dalam program berita CBS “Face the Nation”, Ahad (1/1/2023) lalu.
Dia mengungkapkan, untuk pertama kalinya dalam 40 tahun, pertumbuhan China di 2022 kemungkinan berada pada atau di bawah pertumbuhan global. Lonjakan kasus baru Covid-19 di sana diprediksi akan memukul lagi perekonomian Negeri Tirai Bambu. Kondisi perekonomian China tentu turut berdampak pada kawasan dan dunia.
"Saya berada di China pekan lalu, dalam gelembung di kota di mana tidak ada Covid. Namun itu tidak akan bertahan begitu orang mulai bepergian. Untuk beberapa bulan ke depan, akan sulit bagi China, dan dampaknya terhadap pertumbuhan Cina akan negatif, dampaknya terhadap kawasan akan negatif, dampak terhadap pertumbuhan global akan negatif," ucap Georgieva.
Sementara itu perekonomian AS, kata Georgieva, berdiri terpisah dan dapat menghindari kontraksi langsung yang kemungkinan menimpa sepertiga dari ekonomi dunia. “AS paling tangguh dan dapat menghindari resesi. Kami melihat pasar tenaga kerja tetap cukup kuat,” ujarnya.
Namun fakta demikian menghadirkan risiko karena dapat menghambat kemajuan yang perlu dibuat Bank Sentral AS atau The Fed dalam membawa inflasi AS kembali ke level yang ditargetkan. Inflasi AS menyentuh level tertinggi dalam empat dekade terakhir tahun lalu.
Inflasi di AS menunjukkan tanda-tanda telah melewati puncaknya menjelang berakhirnya 2022. Namun dengan ukuran yang disukai Fed, inflasi tetap hampir tiga kali lipat dari target dua persen. “Ini adalah berkah campuran, karena jika pasar tenaga kerja sangat kuat, Fed mungkin harus mempertahankan suku bunga lebih lama untuk menurunkan inflasi,” kata Georgieva.
Pada Oktober 2022, IMF memangkas prospek pertumbuhan ekonomi global pada 2023. Hal itu mencerminkan hambatan dan tantangan yang masih dihadirkan konflik Ukraina serta tekanan inflasi dan suku bunga tinggi yang direkayasa oleh bank sentral seperti The Fed. Tujuan mereka adalah membawa tekanan harga tersebut ke tingkat lebih rendah.