Iran Sediakan Beasiswa untuk Mahasiswi Afghanistan

Iran telah meningkatkan anggaran universitas sebanyak lima kali lipat

EPA-EFE/STRINGER
Seorang siswi Afganistan meninggalkan Institut Pendidikan Tinggi Mirwais Neeka di Kandahar, Afganistan, (ilustrasi). Iran berencana untuk menerima lebih banyak mahasiswa perempuan dari Afghanistan.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Iran berencana menerima lebih banyak mahasiswa perempuan dari Afghanistan. Langkah ini diambil menyusul kebijakan Taliban melarang perempuan mengakses pendidikan ke perguruan tinggi.

Kantor Berita Resmi Republik Islam Itan (IRNA), pada Selasa (3/1/2023) melaporkan, Iran telah meningkatkan anggaran universitas sebanyak lima kali lipat untuk menyediakan beasiswa bagi mahasiswa Afghanistan. Saat ini terdapat 470 mahasiswa Afghanistan yang belajar di Universitas Teheran, sekitar 25 persen di antaranya perempuan. 

Seorang pejabat universitas mengatakan, sekitar setengah dari mahasiswa tersebut mendapatkan beasiswa. Pejabat itu menambahkan, peningkatan anggaran akan memungkinkan Iran mendukung lebih banyak pelajar Afghanistan, terutama perempuan.

Menteri Pendidikan Tinggi di bawah pemerintahan Taliban, Nida Mohammad Nadim, pada Kamis (22/12/2022) membela keputusannya melarang perempuan mengakses perguruan tinggi. Keputusan kontroversial ini telah memicu reaksi global.

Nadim mengatakan, larangan yang dikeluarkan awal pekan ini diperlukan untuk mencegah pencampuran gender di universitas. Dia meyakini beberapa mata pelajaran yang diajarkan di kampus melanggar prinsip-prinsip Islam. Dia mengatakan, larangan itu berlaku sampai pemberitahuan lebih lanjut.

Dalam sebuah wawancara dengan televisi Afghanistan, Nadim menolak kecaman internasional yang meluas, termasuk dari negara-negara mayoritas Muslim seperti Arab Saudi, Turki dan Qatar. Nadim mengatakan, orang asing harus berhenti mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.

Nadim merupakan mantan gubernur provinsi, kepala polisi dan komandan militer. Nadim diangkat menjadi menteri oleh pemimpin tertinggi Taliban pada Oktober. Sebelumnya, dia berjanji untuk menghapus sekolah sekuler.

Nadim menentang pendidikan perempuan. Dia berpendapat perempuan yang mengenyam pendidikan bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan Afghanistan. Alasan lain Nadim melarang perempuan mengakses pendidikan tinggi adalah mereka tidak mematuhi aturan berpakaian dan mempelajari mata pelajaran serta kursus tertentu.

Nadim menambahkan, pemerintahan Taliban sedang berupaya memperbaiki masalah tersebut. Menurutnya, universitas akan dibuka kembali untuk perempuan setelah beberapa masalah diselesaikan.

“Kami mengatakan kepada gadis-gadis untuk memakai jilbab yang benar, tetapi mereka tidak melakukannya dan mereka mengenakan gaun seperti mereka akan pergi ke upacara pernikahan,” kata Nadim, dilansir dari laman The Associated Press.

“Para perempuan belajar tentang pertanian dan teknik, tetapi ini tidak sesuai budaya Afghanistan.  Anak perempuan harus belajar, tetapi tidak di bidang yang bertentangan dengan Islam dan kehormatan Afghanistan," ujar Nadim.

Sebelumnya menteri luar negeri dari kelompok negara G7 mendesak Taliban untuk mencabut larangan tersebut. Mereka memperingatkan bahwa penganiayaan gender dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.

"Kebijakan Taliban yang dirancang untuk menghapus perempuan dari kehidupan publik akan berdampak pada bagaimana negara kita terlibat dengan Taliban," ujar pernyataan bersama para menteri luar negeri G7.

Taliban membuat janji serupa tentang akses sekolah menengah untuk anak perempuan. Taliban menyatakan, kelas akan kembali dibuka bagi anak perempuan setelah "masalah teknis" seputar seragam dan transportasi diselesaikan. Tetapi hingga kini anak perempuan tetap tidak kembali ke ruang kelas.

Taliban mengeklaim, mereka mencoba memperbaiki masalah yang diwariskan dari pemerintahan sebelumnya. Di Afghanistan, ada beberapa penentangan domestik terhadap larangan perempuan mengakses universitas, termasuk dari beberapa pemain kriket.  Kriket adalah olahraga yang sangat populer di negara ini, dan para pemainnya memiliki ratusan ribu pengikut di media sosial.

Dukungan lainnya juga datang di Universitas Kedokteran Nangarhar. Media lokal melaporkan, mahasiswa laki-laki menolak untuk mengikuti ujian sampai akses perempuan ke universitas dipulihkan.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, menggemakan penentangan internasional terhadap keputusan Taliban untuk melarang perempuan mengakses pendidikan di jenjang universitas. Dia mengatakan, Taliban tidak akan mendapatkan hubungan yang lebih baik dengan dunia yang sangat dibutuhkan jika mereka melanjutkan larangan tersebut.

“Apa yang mereka lakukan adalah mencoba menghukum wanita dan gadis Afghanistan ke masa depan yang kelam tanpa kesempatan. Intinya adalah tidak ada negara yang akan berhasil, apalagi berkembang, jika ia menolak separuh populasinya kesempatan untuk berkontribusi," kata Blinken.

Sejak kembali berkuasa di Afghanistan pada Agustus 2021, Taliban menjanjikan aturan yang lebih moderat dan menghormati hak-hak perempuan serta minoritas. Taliban secara luas telah menerapkan interpretasi mereka terhadap hukum Islam, atau Syariah yang cukup ketat.

Taliban melarang anak perempuan mengakses sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Mereka juga melarang perempuan dari sebagian besar bidang pekerjaan dan memerintahkan mereka untuk mengenakan burqa di depan publik, yaitu pakaian yang menutup kepala hingga ujung kaki. Belum lama ini, Taliban melarang perempuan pergi taman dan pusat kebugaran.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler