KPK Temukan 8,3 Juta Hektare Lahan HGU Belum Terpetakan
Lahan HGU yang berlum terpetakan dapat memicu konflik agraria di tengah masyarakat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan 8,3 juta hektare lahan hak guna usaha (HGU) belum terpetakan, sehingga dapat memicu konflik agraria di tengah masyarakat. Hal tersebut sebagaimana kajian yang dilakukan KPK terkait pemetaan korupsi layanan pertanahan tahun 2022.
KPK memotret bahwa sengketa terjadi karena proses sertifikat luas HGU di Indonesia masih banyak yang belum terpetakan (landing)."Sertifikat HGU yang belum terpetakan mencapai 1.799 sertifikat, dengan luas mencapai 8,3 juta hektare," kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dikutip dari keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Rabu (4/1/2023).
Ghufron menyampaikan hasil kajian tersebut di Gedung Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Jakarta, Selasa (3/1/2023). Ia menjelaskan berdasarkan kajian Direktorat Monitoring KPK dalam empat tahun terakhir telah terjadi 31.228 kasus pertanahan, dengan rincian 37 persen sengketa, 2,7 persen konflik, dan 60 persen perkara. Dalam periode yang sama juga ditemukan sebanyak 244 kasus mafia tanah.
KPK menjelaskan penyebab terjadinya kasus-kasus itu, karena pengukuran tanah sebelumnya masih menggunakan koordinat lokal (berdasarkan tanda alam), belum menggunakan sistem proyeksi TM-3 (turunan sistem koordinat Universal Transverse Mercator), dan terbitnya SK penetapan kawasan hutan dan Perda RTRW kawasan hutan setelah HGU terbit.
Fakta itu didapati setelah KPK menganalisis data terhadap 299 berkas layanan HGU tahun 2021 dari sistem komputerisasi kantor pertanahan mulai dari pemberian, perpanjangan, dan pembaharuan di 25 provinsi. Pada saat yang sama, KPK juga melakukan pengujian standar layanan "service level agreement" (SLA).
Adapun yang selama ini banyak terjadi, kataGhufron, bahwa di atas satu bidang tanah terbit beberapa sertifikat dan kemudian dilaporkan kepada BPN. Selanjutnya, BPN sebagai pemangku kepentingan seakan lepas tanggung jawab dan konflik bergulir di pengadilan.
"Ketika ada masalah seakan-akan penyelesaiannya di pengadilan, yang semestinya negara itu profesional mengatakan mana yang benar dan salah. Seakan-akan tidak mau ambil risiko dan rakyat yang berjuang sendirian. Kami berharap ada perbaikan dari teman-teman BPN," ujar Ghufron.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menjelaskan dalam beberapa periode terakhir, KPK juga menangani kasus korupsi pertanahan di Indonesia, di antaranya suap HGU di BPN Riau dan Kalimantan Barat.
Dalam perkara suap pengurusan hak guna usaha lahan di Riau, diketahui pihak swasta bermufakat dengan pihak BPN dalam pengurusan dan perpanjangan HGU, sehingga telah diduga adanya tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji.
Pahala mengungkapkan setelah dilakukan monitoring, konflik HGU disebabkan oleh lemahnya pengawasan di mana Permen ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 tidak mengatur sanksi tegas terkait pelanggaran kewajiban HGU. Termasuk, pengawasan atau pemeriksaan kepastian HGU sejauh ini masih minim karena hanya dilakukan secara "sampling" satu pemegang HGU/kantor pertanahan (kantah) per tahun.
"(Penyebabnya) minim anggaran pengawasan HGU dan tidak dibangun mekanisme pengawasan berbasis risiko dan teknologi. Akibatnya terjadi ketidakpatuhan pelaksanaan kewajiban pemegang HGU dan potensi tumpang tindih tinggi," kata Pahala.