IHW: Produsen dan Importir Harus Aware dengan Sertifikasi Halal

Sertifikasi halal menjadi cara melindungi warga negara dari yang tak halal

Republika/Putra M. Akbar
Pengunjung melintas di dekat logo halal saat Festival Halal Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, Rabu (14/12/2022). BPJPH menggelar Festival Halal Indonesia untuk mendukung dan berperan serta aktif dalam menumbuhkan ekosistem halal di Indonesia dalam rangka memperingati HUT ke-5 BPJPH. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Erdy nasrun

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW) Dr Ikhsan Abdullah menegaskan, baik produsen maupun importir harus lebih perhatian dengan sertifikasi halal di Indonesia. Aturan untuk hal ini sudah jelas, yaitu UU No 33 Tahun 2014.


"Dalam UU No 33 Tahun 2014, ada Pasal 4 yang mengatakan semua produk yang masuk, dari luar dan beredar di Indonesia wajib bersertifikasi halal. Itu artinya sudah kuat ketentuannya, tinggal pelaksanaannya saja," ujar dia saat dihubungi Republika, Kamis (5/1/2023).

Negara, melalui piranti dan aparaturnya, disebut harus bisa menegakkan ketentuan yang tertuang dalam UU tersebut. Hal ini bertujuan melindungi negara dari masuk dan beredarnya produk-produk yang tidak bersertifikasi halal.

Upaya negara menjaga produk halal menjadi cara melindungi warga negara dari yang tak halal. Jika hal ini tidak ditegakkan, ini berarti negara sedang membiarkan masyarakat atau warga negaranya mengonsumsi barang yang tidak jelas.

"Ini sekaligus tidak menaati ketentuan UU. Karena amanatnya sudah jelas, tinggal dieksekusi," lanjutnya.

Ikhsan pun menyebut sebelum UU Cipta Kerja atau Omnibus Law dikeluarkan pada 2020 lalu, sosialisasi dan gerakan komunitas halal sudah bagus dan masif. Upaya peningkatan literasi, termasuk kepada masyarakat, dalam memilih produk dengan sertifikasi halal berjalan baik.

Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja No 11 Tahun 2020, ia menilai ketentuan halal ini menjadi hilang dan tidak lagi ditaati, baik oleh konsumen maupun produsen. Artinya, UU Cipta Kerja disebut tidak membawa manfaat untuk perlindungan sistem jaminan produk halal, tetapi justru melemahkan.

Adanya Omnibus Law membuat produsen merasa ada celah dan pelonggaran. Dengan demikian, mereka pun memanfaatkan kesempatan yang ada untuk sebanyak-banyaknya memasukkan produk dan mengabaikan ketentuan sistem jaminan halal yang sudah menjadi hukum nasional.

"Namanya pedagang, mereka ambil celah, merasa untuk apa ngurus sertifikasi halal, wong bisa kok tetap jualan. Jadinya ketaatan terhadap sistem jaminan halal itu menjadi buyar sekarang," kata dia.

Ia pun meminta agar setiap pihak kembali memperhatikan UU No 33 Tahun 2014 Pasal 4. Dalam pasal ini sudah dijelaskan, setiap pihak yang ingin membawa masuk produknya atau menjualnya ke masyarakat harus sudah bersertifikat halal. 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler