Mengapa Yahudi Dilarang Masuki Kompleks Masjid Al Aqsa?

Kepala Rabbi Yerusalem resmi melarang orang Yahudi masuki Temple Mount sejak 1921.

AP/Mahmoud Illean
Warga Palestina merayakan hari pertama hari raya Idul Adha di samping kuil Dome of the Rock di kompleks Masjid Al Aqsa di Kota Tua Yerusalem, Sabtu, 9 Juli 2022. Mengapa Yahudi Dilarang Masuki Kompleks Masjid Al Aqsa?
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Kompleks Masjid Al-Aqsa, yang juga dikenal sebagai al-Haram al-Sharif, terletak di dataran tinggi yang oleh orang Yahudi disebut Temple Mount. Ibadah Yahudi di halaman Masjid Al Aqsa telah dilarang selama berabad-abad, termasuk oleh suksesi pemerintah Israel, dan sangat kontroversial di kalangan Muslim dan Yahudi yang religius.

Baca Juga


Bagi orang Yahudi yang religius, Temple Mount adalah situs tersuci dalam Yudaisme. Dilansir Middle East Eye, Kamis (5/1/2023), menurut studi kitab suci dan arkeologi, situs ini diyakini sebagai situs dua kuil yang pernah menjadi pusat kerajaan Yahudi yang ada pada zaman kuno.

Satu-satunya bagian yang tersisa dari Kuil Kedua adalah Tembok Barat, yang merupakan tempat tersuci untuk doa Yahudi di kota tersebut. Kuil Kedua dimulai oleh Herodes Agung dan dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 M sebagai pembalasan atas pemberontakan Yahudi.

Di atas bukit terdapat Masjid Al Aqsa yang luas, kompleks halaman, ruang sholat, dan tempat suci, termasuk Dome of the Rock beratap emas. Masjid ini adalah salah satu situs paling suci dalam Islam. Kekaisaran Ottoman merebut Yerusalem pada 1517 dan menguasai kota itu selama 400 tahun berikutnya, sebelum Inggris merebut kota itu selama Perang Dunia Pertama.

Para penguasa Ottoman bersusah payah mencegah bentrokan sektarian di kota tersebut, tidak hanya antara Yahudi dan Muslim, tetapi juga di antara berbagai sekte Kristen yang mengklaim otoritas atas tempat-tempat suci. Penguasa Ottoman mengeluarkan sejumlah dekrit yang mengatur bagaimana kontrol kota akan dibagi.

Pada 1757, Sultan Osman III mengeluarkan dekrit yang menetapkan apa yang kemudian dikenal sebagai "Status Quo". Selain upaya untuk mencegah pertikaian antar-komunal di antara orang-orang Kristen atas situs-situs seperti Gereja Makam Suci, Status Quo juga menegaskan kembali larangan non-Muslim memasuki Al-Aqsa dan hak bagi orang Yahudi menggunakan Tembok Barat untuk beribadah.

Kepala Rabbi Yerusalem juga, sejak 1921, secara resmi melarang orang Yahudi memasuki Temple Mount. Dekrit menyatakan masuk ke situs dilarang kecuali "murni secara ritual", yang diyakini tidak mungkin dalam kondisi modern.

Menurut Rabbinate, Temple Mount adalah tempat Mahakudus, area di Bumi tempat hadirat Tuhan muncul. Karena itu, menginjakkan kaki di situs tersebut berisiko mengalami penodaan.

Menurut Pusat Urusan Publik Yerusalem, dalam pelarangan akses ke Temple Mount, para rabi kepala mengikuti pandangan Maimonides bahwa Shechinah (Kehadiran Ilahi) masih ada di lokasi Kuil. "Masuk ke sana dilarang dan dapat dihukum dengan kareth (kematian dengan keputusan surgawi), mengingat bahwa orang Yahudi berada dalam keadaan kenajisan ritual saat ini tanpa adanya lembu merah, yang abunya diperlukan untuk proses penyucian."

Mayoritas orang Yahudi Ortodoks menghormati larangan Rabbinate. Meskipun ada banyak pengecualian selama berabad-abad, sebagian besar ibadah Yahudi telah diisolasi ke Tembok Barat.

Namun, muncul penolakan atas larangan beribadah di Temple Mount pada 1967. Di tahun itu, Israel merebut Kota Tua Yerusalem dari Yordania, termasuk tempat-tempat suci, dan mendudukinya sejak saat itu. Namun, pengelolaan situs-situs Islam diberikan kepada otoritas Yordania. Sejak itulah, ada gerakan yang berkembang yang menyerukan agar orang Yahudi diizinkan beribadah di Temple Mount.

Secara resmi, otoritas Israel telah mempertahankan Status Quo. Meski gerakan Zionis selalu bernada religius, sebagian besar pemimpin Israel adalah sekuler jika tidak ingin dikatakan ateis. Dengan demikian, mencegah ledakan kemarahan di seluruh dunia Muslim umumnya menjadi prioritas yang lebih besar bagi para pemimpin politik Israel daripada upaya mengubah status Temple Mount.

Orang-orang Yahudi mengunjungi Temple Mount, yang dikenal oleh umat Islam sebagai Tempat Suci, di kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, selama ritual berkabung tahunan Tisha BAv (sembilan Av) hari puasa dan hari peringatan, memperingati penghancuran kuil kuno Yerusalem, Ahad, 7 Agustus 2022. - (AP/Mahmoud Illean)

 

Namun demikian, banyak orang Yahudi yang religius melihat penaklukan Kota Tua sebagai simbol yang sangat besar. Beberapa di antaranya, termasuk banyak orang Kristen, melihatnya sebagai tanda "Akhir Zaman" seperti yang dinubuatkan dalam kitab suci.

Beberapa kelompok agama Yahudi berpendapat, harus ada pembangunan Kuil Ketiga di situs tersebut, lebih dari sekadar mengizinkan ibadah di Temple Mount. Dibangunnya Kuil Ketiga adalah sesuatu yang dapat menandai kembalinya Mesias dan Hari Penghakiman. Pandangan ini telah lama menjadi pandangan minoritas di antara orang Yahudi di Israel dan di seluruh dunia, tetapi tidak selalu jauh dari arus utama.

Salah satu kisah populer, meski masih diragukan, adalah kisah yang berasal dari Jenderal Uzi Narkiss saat memimpin pasukan Israel dalam merebut Kota Tua pada 1967. Dia mengklaim bahwa Shlomo Goren, yang saat itu adalah kepala rabbi militer dan kemudian kepala rabbi Israel, mendesaknya merebut Kota Tua untuk meledakkan Masjid Al Aqsa.

Meski Goren dan yang lainnya membantah cerita Narkiss, Goren sendiri adalah sosok rabbi yang populer karena menganjurkan beribadah di Temple Mount. Ini kemudian memicu kontroversi pada Agustus 1967 ketika dia memimpin sekelompok jamaah untuk berdoa di situs tersebut. Tindakannya memicu protes dari Muslim, Yahudi sekuler, dan Kepala Rabbi Yerusalem, yang menyatakan kembali bahwa orang Yahudi dilarang berdoa di situs tersebut.

Terlepas dari larangan orang Yahudi memasuki halaman Masjid Al Aqsa, selama bertahun-tahun kelompok pemukim Israel telah memasuki kompleks masjid dengan perlindungan dari penjaga keamanan Israel. Sampai saat ini mereka biasanya dicegah melakukan ritual keagamaan, kecuali secara diam-diam, untuk mencegah memprovokasi jamaah Muslim.

Mungkin insiden provokatif Israel yang paling terkenal di Al-Aqsa terjadi pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Israel saat itu Ariel Sharon memasuki halaman Masjid Al Aqsa. Ia dikawal oleh lebih dari 1.000 petugas polisi Israel. Sharon saat itu menyatakan Al Aqsa akan selamanya berada di bawah kendali Israel.

Kunjungan tersebut memicu protes keras dari warga Palestina, dan akhirnya berujung pada Intifadah Kedua yang mengakibatkan kematian lebih dari 3.000 warga Palestina dan lebih dari 1.000 warga Israel selama periode lima tahun.

Umat Muslim mengambil bagian dalam salat Jumat di Masjid Dome of the Rock di kompleks Masjid Al-Aqsa di Kota Tua Yerusalem, Jumat, 28 Mei 2021. - (AP Photo/Mahmoud Illean)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler