Warga Iran Protes Penerbitan Kartun Ali Khamenei oleh Charlie Hebdo
Pemerintah Iran telah memanggil dubes Prancis terkait penerbitan kartun Ali Khamenei.
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Puluhan warga Iran menggelar unjuk rasa di luar gedung Kedutaan Besar Prancis di Teheran, Ahad (8/1/2023). Mereka memprotes pembuatan dan pemuatan kartun pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei oleh majalah satire Prancis, Charlie Hebdo.
Dalam aksinya, para pengunjuk rasa meneriakkan kata-kata seperti “Prancis memalukan” dan “Charlie Hebdo memalukan”. Ada pula yang membentangkan kain bertuliskan “Saya akan mengorban hidup saya untuk pemimpin”. “Saya datang untuk mendukung revolusi saya, pemimpin saya”, kata mahasiswa seminari berusia 17 tahun, Karim Heydarpour, yang berpartisipasi dalam unjuk rasa, dilaporkan laman Al Arabiya.
Menurut laporan media pemerintah, aksi unjuk rasa serupa turut digelar di kota suci Iran, Qom, yang berada 128 kilometer di selatan Teheran. Pada Rabu (4/1) pekan lalu, Pemerintah Iran telah memanggil duta besar Prancis di negaranya untuk menyampaikan protes terkait penerbitan kartun Ayatollah Ali Khamenei oleh Charlie Hebdo.
"Republik Islam Iran tidak menerima penghinaan terhadap kesucian serta nilai-nilai Islam, agama, dan nasionalnya dengan cara apa pun," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran Nasser Kanaani kepada dubes Prancis, menurut laporan TV pemerintah.
Pada Kamis (5/1), Iran mengatakan akan menutup French Institute for Research atau Institut Riset Prancis di Teheran. Hal itu merupakan langkah pertama dalam merespons penerbitan kartun Ali Khamenei oleh Charlie Hebdo. Kedutaan Besar Prancis di Teheran belum memberikan komentar resmi apa pun terkait protes yang telah dilayangkan Iran.
Majalah Charlie Hebdo telah menerbitkan belasan kartun Ayatollah Ali Khamenei. Majalah yang kerap dibekap kontroversi itu mengatakan, penerbitan kartun-kartun tersebut merupakan bentuk dukungan mereka terhadap gelombang unjuk rasa di Iran yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini.
Pada 13 September 2022, Mahsa Amini, wanita berusia 22 tahun, ditangkap polisi moral Iran di Teheran. Penangkapan itu dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Setelah ditangkap, Amini pun ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Saat ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes. Aksi demonstrasi masih berlangsung hingga kini.
Sejak demonstrasi pecah, ribuan warga Iran dilaporkan telah ditangkap. Iran bahkan telah mengeksekusi mati dua warganya yang terlibat dalam unjuk rasa. Menurut organisasi Iran Human Rights (IHR), masih terdapat 100 warga lainnya yang menghadapi risiko hukuman mati.