Mengintip Penerapan ERP di Beberapa Negara: Kurangi Macet hingga Jaga Kualitas Udara

Pemprov DKI Jakarta berencana menerapkan sistem ERP di sejumlah ruas jalan.

ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di bawah Alat Sistem Jalan Berbayar Elektronik (ERP) di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (9/1/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana untuk menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) di sejumlah ruas jalan Ibu Kota dengan usulan besaran tarif sekitar Rp5.000 hingga Rp19.000 sekali melintas yang bertujuan untuk mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Saat ini tengah bergulir wacana penerapan jalan berbayar atau electronic road pricing (ERP) untuk sejumlah ruas jalanan di DKI Jakarta. Tujuannya yakni mengurangi kemacetan.

Baca Juga


Beberapa negara juga sudah menerapkan sistem ERP dengan motivasinya masing-masing.

1. Inggris

Pemerintahan Partai Buruh Inggris sudah mempromosikan berbagai skema ERP untuk cakupan lokal hingga nasional antara 1997-2010. Namun terdapat penentangan kuat dari publik Inggris atas inisiatif tersebut. Inggris baru memberlakukan ERP pada 2012.

Mengutip keterangan dari laman resmi House of Commons Commitees, di Inggris, retribusi jalan umumnya digunakan karena dua alasan, yakni mengatasi kemacetan dan meningkatkan kualitas udara dengan membebankan biaya kendaraan berdasarkan tingkat emisinya.

Bentuk terbatas dari skema road pricing lokal sudah ada di Inggris, yakni:

· Jalan tol, seperti jalan tol M6, yakni satu-satunya jalan tol yang terletak di jalan strategis Inggris.

· Jembatan dan penyeberangan seperti Clifton Suspension Bridge dan the Mersey Crossing

· Retribusi Kendaraan Barang Berat untuk pengangkut non-Inggris

· Biaya Kemacetan dan Ultra Low Emission Zone (ULEZ) di London.

Sebagai negara yang ikut menandatangani Perjanjian Iklim Paris, saat ini Inggris telah berkomitmen mengakhiri penjualan mobil berbahan bakar bensin dan diesel baru pada 2030. Departemen Keuangan Inggris diperkirakan bakal kehilangan 35 miliar poundsterling.

Inggris tengah mengkaji apakah ERP merupakan solusi untuk mengganti dana yang bakal hilang dari pajak bahan bakar dan bea kendaraan guna membantu mengatasi kemacetan.

2. Singapura

Singapura adalah negara pertama yang memperkenalkan tarif kemacetan sebagai alat untuk mengontrol volume lalu lintas. Hal itu dimulai dengan mengenakan tarif di bawah Skema Perizinan Area atau Area Licensing Scheme (ALS) pada 1975.

Skema tersebut terus dikembangkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya menjadi ERP yang diluncurkan pada 1998. Di Singapura, ERP berlaku setiap hari kerja mulai pukul 07.00 sampai 17.30.

 

Pemberlakukan tarif ERP ini untuk menjaga lalu lintas bergerak pada kisaran kecepatan optimal 20-30 kilometer per jam di jalan arteri dan 45-65 kilometer per jam di jalan tol.

Harga yang diterapkan bervariasi tergantung jenis kendaraan, lokasi, waktu, dan tingkat kepadatan jalan saat itu. Selain kendaraan roda empat atau lebih, ERP juga diberlakukan untuk sepeda motor.

 

Tarif ERP di Singapura ditinjau setiap kuartal serta disesuaikan selama liburan sekolah antara Juni-Desember, berdasarkan kondisi lalu lintas saat itu. Tarif ERP umumnya ditetapkan dalam periode setengah jam.  

Misalnya, untuk jangka waktu (07.30-08.00) berarti tarif ERP berlaku mulai pukul 7.30 pagi hingga pukul 8.00 pagi. Definisi yang sama berlaku untuk periode waktu lainnya.

Besaran biaya ERP tergantung pada jenis kendaraan: semakin besar ukuran kendaraan, semakin besar pula tarifnya. Selama jam sibuk, biaya dapat berubah setiap setengah jam guna membantu menyebarkan arus lalu lintas dalam jangka waktu lebih lama.

3. Swedia

Terinspirasi dari sistem ERP yang diterapkan Singapura, Swedia mengikuti jejak negara tersebut. Pada 2006, tarif kemacetan Stockholm diluncurkan dan diuji coba selama tujuh bulan, yakni antara Januari hingga Juli.

Referendum tentang masa depan tarif kemacetan digelar pada September 2006. Penduduk kota Stockholm memilih 'Ya', sedangkan 14 kota lainnya memilih 'Tidak' untuk menerapkannya secara permanen.

Pada Oktober 2006, pemerintah Swedia mengumumkan bahwa bea kemacetan Stockholm akan diterapkan secara permanen selama paruh pertama 2007. Pendapatan dari bea kemacetan yang diberlakukan kembali di Stockholm akan digunakan untuk membiayai sebagian jalan pintas baru, 'Förbifart Stockholm'.

Jumlah yang harus dibayar tergantung pada waktu pengemudi masuk atau keluar dari area tarif kemacetan. Pajak dapat dibayar langsung melalui situs web atau via telepon dengan kartu kredit. Biaya tarif juga dapat disetorkan di toserba 7-11 dan Pressbyrån.

Selain Stockholm, terdapat beberapa kota lain di dunia yang memiliki atau memberlakukan ERP, misalnya Milan (Italia) dan San Diego (Amerika Serikat).

Di San Diego, Kalifornia, konsep ERP bukan untuk mengurai atau mengurangi kemacetan seperti di Singapura atau London, melainkan sistem tol jalan raya dikotomis. Pengemudi yang bersedia membayar diizinkan menggunakan jalur ekspres yang dikenal dengan Lexus Lanes.  Jalur itu akan turut terhubung atau berujung ke jalan raya asli.

Sementara di Milan, ERP diterapkan dengan tujuan utama menjaga dan meningkatkan kualitas udara. Milan telah menghentikan perantara dan menjadikan peningkatan kualitas udara sebagai misi negara dari sistemnya, Ecopass. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler