Rapat Jadi Tertutup Saat Koalisi Sebut Istana Kala Serahkan Bukti Dugaan Kecurangan Pemilu

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menyerahkan sejumlah bukti ke DPR.

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Ilustrasi pemilihan umum (Pemilu)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Fauziah Mursid

Baca Juga


Sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih menyerahkan sejumlah bukti dugaan kecurangan KPU dalam proses verifikasi faktual partai politik calon peserta Pemilu 2024, kepada Komisi II DPR RI. Bukti itu diserahkan ketika koalisi ini mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi II DPR RI pada hari ini, Rabu (11/1/2023). 

Perwakilan koalisi sipil ini, Hadar Nafis Gumay dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), mengatakan, pihaknya menyerahkan empat bukti kepada Komisi II. Pertama, bukti KPU mengubah status sebuah partai yang awalnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS) sebagai peserta pemilu. Perubahan status itu terjadi dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dan dalam berita acara rekapitulasi vaktual. 

 

 

Kedua, bukti berupa tangkapan layar percakapan via WhatsApp tentang instruksi meloloskan sebuah partai. Percakapan itu diklaim terjadi antara Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari dan salah seorang anggota KPU provinsi. 

 

 

"Di situ menunjukkan Ketua (Hasyim) mengatakan ada data daerah yang Partai Gelora belum memenuhi syarat. Nah di daerah ini perlu dibantu. Jadi ada kalimat dari Ketua KPU 'mohon dibantu'," ujar Hadar kepada wartawan usai RDPU tersebut. 

 

 

Ketiga, bukti berupa tangkapan layar yang menampilkan percakapan antar anggota KPU provinsi. Dalam percakakan itu, mereka mengaku mendapat instruksi dari komisioner KPU RI agar mengubah data hasil verifikasi demi meloloskan Partai Gelora. Mereka diminta melaksanakan instruksi tersebut karena permintaan dari Istana. 

 

 

"Bahwa itu betul data komunikasi, iya," kata Hadar menegaskan bahwa datanya benar. 

 

 

Keempat, bukti berupa sebuah rekaman aula kantor KPU Sulawesi Utara. Dalam video itu disebut ada instruksi dari sekretaris KPU Sulawesi Utara kepada anak buahnya untuk mengubah data hasil verifikasi partai. 

 

 

Hadar menjelaskan, pihaknya menyampaikan dugaan kecurangan KPU beserta bukti-buktinya itu bertujuan untuk mendesak Komisi II DPR bergerak. Sesuai UU Pemilu, kata dia, DPR bisa merekomendasikan pemberhentian terharadap anggota KPU RI yang terbukti terlibat dalam dugaan kecurangan ini. 

 

 

"Kami tidak sama sekali bermaksud untuk melakukan penundaan pemilu, justru kami ingin memastikan penyelenggaraan pemilu tepat waktu tetapi dengan kualitas yang baik," ujar mantan Komisioner KPU RI itu. 

 

Rapat tertutup 

 

 

RDPU Komisi II DPR RI dengan Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih ini berlangsung terbuka, lalu tiba-tiba diubah menjadi tertutup. Saat rapat masih terbuka, Hadar menjelaskan temuan dugaan kecurangan, bukti-bukti, dan keterlibatan lembaga negara seperti Istana dan Kemenkopolhukam. 

 

 

Ketika mendengar ada nama lembaga negara lain disebut, Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia langsung memotong penjelasan Hadar. Doli meminta rapat dilanjutkan secara tertutup. 

 

 

"Sebentar pak, saya kira, saya mohon maaf teman-teman, karena ini menyebutkan terkait dengan beberapa pihak yang tentu perlu dikonfirmasi, saya kira rapat ini kita alihkan tadinya terbuka ke tertutup saja," kata Doli. 

 

 

Hadar sempat protes dengan keinginan Doli mengubah rapat jadi tertutup. Sebab, menurut Hadar, temuan dugaan manipulasi data ini merupakan informasi publik sehingga rapat sebaiknya tetap terbuka. 

 

 

Namun, Doli bergeming. Doli beralasan rapat harus digelar tertutup karena temuan koalisi menyebut nama sejumlah institusi. 

 

 

"Soalnya ini menyebut-nyebut nama institusi, nanti khawatir ini kan harus dikonfirmasi. Berita ini harus kita konfirmasi, nanti menyebar luas kemana-mana, jadi saya minta persetujuan teman-teman pimpinan kita alihkan ke tertutup," kata Doli. 

 

 

Sejurus kemudian, Doli mengetok palu sidang tanda rapat diubah jadi tertutup. Doli lantas meminta awak media untuk menghapus atau menurunkan berita yang memuat nama-nama institusi yang diduga terlibat. 

 

 

Rapat tertutup itu tuntas sekitar pukul 12.00 WIB. Sekitar dua jam berselang, Komisi II menggelar rapat dengan pimpinan KPU RI. 

 

 

Saat berita ini ditulis, rapat Komisi II dan KPU Ri itu masih berlangsung. Rapat ini rencananya akan membahas persiapan penyelenggaraan pemilu dan sejumlah isu aktual, termasuk dugaan kecurangan yang disampaikan koalisi sipil.

 

 


Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, praktik kecurangan dalam proses pemilihan umum (pemilu) sudah ada sejak dulu hingga saat ini. Ia pun meyakini Pemilu 2024 nanti akan ada tudingan Komisi Pemilihan Umum (KPU) curang.

"Itu terkait pemilu curang, kecurangan pasti ada tetapi sekarang horizontal tidak vertikal. Saya bicara tanggal 10 Januari 2023 di Universitas Paramadina. Catat ya tahun 2024 pasti ada yang menuding KPU itu curang. beberapa kali pemilu, kasusnya ratusan, padahal curangnya itu di bawah," ujar Mahfud dalam ppidatonya di Sidang Senat Terbuka dalam rangka Dies Natalis ke-25 Universitas Paramadina, Selasa (10/1/2023).

Mahfud mengatakan, kendati praktik kecurangan pada Pemilu selalu ada, kecurangan pemilu saat ini juga lebih baik dibandingkan era sebelumnya.

"Apakah pemilu tidak curang? Curang! Cuma kalau zaman Orde Baru itu curangnya vertikal yang curang itu pemerintah kepada kontestan pemilu. Kalau sekarang yang curang horizontal, antarpemain, partai politik dengan parpol, anggota parpol menggugat anggota parpol lainnya meski sama-sama satu partai karena ada dicurangi," ujar Mahfud.

Mahfud melanjutkan, begitu juga pemilihan presiden (pilpres) tidak lepas dari kecurangan di tingkat bawah. Namun demikian, kecurangan itu bukan berasal dari pemerintah.

"Pilpres juga ada curang, tapi itu di bawah bukan kontestan bukan pemerintah dan sama-sama curang di bawah," ujarnya.

Mahfud melanjutkan, untuk mengantisipasi kecurangan tersebut, sistem Pemilu saat ini sudah lebih baik. Saat ini, penyelenggaraan Pemilu diawasi pengawas Pemilu, pemantau independen dan unsur lainnya yang diberikan kewenangan melaporkan proses pemungutan suara.

Selain itu, lanjut Mahfud, dibentuk juga pengadilan Pemilu dari berbagai tingkatan dan proses seperti Bawaslu, DKPP dan Mahkamah Konstitusi.

"Ada pengadilan, pengadilan pemilu dulu nggak ada sekarang ada pengadilan pemilu, ada MK ada Bawaslu ada DKPP, semua itu dibentuk dalam rangka memajukan demokrasi," ujar Mahfud.

Mahfud menambahkan, dalam proses peradilan pemilu jika terdapat kecurangan, tetapi tidak signifikan, maka tidak akan membatalkan Pemilu. Namun demikian, jenis kecurangannya kata mantan ketua MK ini tetap diproses secara pidana.

"Misalnya curang 10 ribu suara, terbukti, yang satunya lagi curang juga 5.000 suara. Apakah pemilu batal? Ya nggak, kalau menunggu pemilu bersih pemilu tidak akan selesai. Oleh sebab itu yang curang curang itu diselesaikan melalui hukum pidana, hukum tata negara jalannya sejauh kemenangan dan kekalahan itu tidak signifikan," katanya.

"Kemudian apakah 10 ribu ini dibiarkan? Tidak, dituntut pengadilan pidana," ujarnya.

Mahfud juga menceritakan pengalamannya pernah membatalkan 72 anggota DPR terpilih pada Pemilu 1999 saat masih menjabat sebagai ketua MK.

"Waktu saya jadi ketua MK, 72 anggota DPR terpilih dari pusat hingga daerah nyalon Pemilu tahun 1999 saya batalkan karena memang curang tetapi inget curangnya itu antar kontestan yang horizontal, bukan anggota KPU-nya," ujarnya.

Sebelumnya, Ketua KPU Hasyim Asy'ari merespons berbagai pengaduan atas dugaan pelanggaran etik komisioner KPU yang tengah bergulir. Hasyim mengaku pihaknya tidak terusik sama sekali.

Baginya, memang sudah risiko petugas maupun komisioner KPU menjadi terlapor, teradu, tergugat, maupun termohon. Dia mengatakan, para komisioner yang diadukan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) siap menghadapi persidangan dugaan pelanggaran etik.

Menurutnya, memberikan jawaban dalam forum resmi DKPP merupakan salah satu strategi KPU menghadapi berbagai tudingan pelanggaran maupun dugaan kecurangan yang dilontarkan sejumlah pihak. 

"Ada saatnya, katakanlah ada panggilan sidang atau segala macam, kami taat untuk menghadiri sidang-sidang itu," ungkap Hasyim. 

Sejauh ini, ada empat pengaduan yang masuk ke DKPP terkait dugaan pelanggaran etik para komisioner KPU RI hingga komisioner KPU daerah. Mulai dari dugaan intimidasi untuk memanipulasi data partai, dugaan tindakan asusila Hasyim terhadap Hasnaeni, dugaan pelanggaran etik terkait administrasi,hingga dugaan manipulasi data demi meloloskan partai tertentu. 

 

Ilustrasi Jokowi dan Pemilu - (republika/mardiah)

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler