Kegagalan Mendidik IbuTunggal dalam Novel Salah Asuhan Karya Abdoel Muis

Novel berjudul Salah Asuhan karya Abdoel Moeis, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928 adalah salah satu contoh karya sastra tulis di era kolonial. Novel ini mengangkat kisah kegagalan seorang ibu sebagai orang tua tunggal dalam mendidik

retizen /Dzikra Mufti
.
Rep: Dzikra Mufti Red: Retizen
Novel "Salah Asuhan" Karya Abdoel Muis, sumber foto: pribadi.

Keluarga merupakan salah salah satu tempat ternyaman untuk kembalinya seseorang. Namun, tidak setiap anak bisa merasakan keutuhan peran kedua orang tuanya selama ia hidup. Apalagi ketika salah satu dari orang tua itu kehilangan pasangan yang dicintainya. Hal itu bisa menjadi salah satu faktor pemicu pola didik orang tua kepada anaknya.


Sastra merupakan salah satu bentuk ungkapan pengarang. Kelahiran sastra bisa berbentuk tulisan maupun lisan yang terinspirasi dari imajinasi atau pengalaman kehidupan yang dialami sang pengarang.

Novel berjudul “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis, yang diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun 1928 adalah salah satu contoh karya sastra tulis di era kolonial.

Novel "Salah Asuhan" mengangkat kisah kegagalan seorang ibu sebagai orang tua tunggal dalam mendidik putra semata wayangnya. Disertai dengan isu hangat tentang arus budaya bangsa barat yang mengubah sebagian pola pikir anak bangsa timur untuk bersikap kurang menghargai budaya sendiri dan bahkan ada yang sampai melupakannya. Masa-masa itu terlihat jelas bahwa budaya barat sangat bertolak belakang dengan dengan budaya timur, yang terlalu bebas.

Dalam novel “Salah Asuhan”, Abdoel Muis berhasil membangun karakter Hanafi sebagai tokoh utama yang durhaka kepada ibunya. Berikut kutipannya:

"Ibu orang kampung dan perasaan Ibu kampung semua," demikian ia berkata, kalau ibunya mengembangkan permadani di beranda belakang, buat menanti tamu yang sesama tuanya. "Di rumah gedang, di Koto Anau, tentu boleh duduk menabur lantai sepenuh rumah, tapi di sini kita dalam kota, tamuku orang Belanda saja."

Selain itu, Hanafi juga sering membandingkan budaya barat dan berakhir dengan mengolok-olok budayanya sendiri sehingga membuat perasaan ibunya terluka. Berikut salah satu kutipannya:

"Yang sangat menyedihkan hati ibunya ialah karena bagi Hanafi segala orang yang tidak pandai bahasa Belanda, tidaklah masuk bilangan. Segala hal ikhwal yang berhubungan dengan orang Melayu, dicatat dan dicemoohkannya, sampai kepada adat lembaga orang Melayu dan agama Islam tidak mendapat perindahan serambut juga. Adat lembaga disebutkan 'kuno', agama Islam 'takhayul'. Tidak heran, kalau ia hidup tersisih benar dari pergaulan orang Melayu. Hanyalah kepada ibunya ada melekat hatinya."

Namun, dibalik sikap kedurhakaan Hanafi yang tidak patut ditiru, alangkah baiknya jika kita menelusuri terlebih dahulu ke akarnya. Bahwasanya, kehidupan Hanafi saat ini tercipta dari faktor lain, yakni ketidaklengkapan orang tua dalam proses perkembangannya. Hanafi hanya dibesarkan oleh ibu tunggal. Walaupun ibunya yang berusaha keras untuk memberikan yang terbaik untuk anaknya tetap saja peran ayah dalam setiap perkembangan seorang anak juga diperlukan. Berikut kutipannya:

"Dari kecil Hanafi sudah disekolahkan di Betawi, yaitu tidak dinantikan tamatnya bersekolah Belanda di Solok, tetapi dipindahkan ke ibu kota itu karena kata ibunya, ia tidak hendak kepalang menyekolahkan anak tunggal yang sudah kehilangan ayah itu. Sebab ibunya ada di dalam berkecukupan, dapatlah ia menumpangkan Hanafi di rumah orang Belanda yang patut-patut. Maksud orang tua itu ialah supaya anaknya menjadi orang pandai, melebihi kaum keluarganya dari kampung."

Selain itu, kutipan di atas menjelaskan bahwa faktor lain yang memicu perangai buruk Hanafi adalah faktor lingkungan. Hanafi terbawa arus budaya barat karena pada masa sekolah ia pernah tinggal bersama keluarga orang Belanda.

Maka dari itu, kita sebagai calon orang tua hendaklah untuk mempunyai cukup ilmu dalam mengasuh dan mendidik seorang anak, terutama kaum perempuan. Karena ibu adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Selain itu seorang anak juga harus menghormati orang tua.

Jasa mereka tidak akan pernah bisa dibalas oleh setiap anak karena terlalu banyaknya pengorbanan mereka. Ingatlah, surga setiap anak yang belum menikah ada di seorang ibu. Dan ridha Allah ada pada ridha orang tua. Sekalinya kita menyakiti orang tua, makan Allah akan murka kepada anak tersebut.

sumber : https://retizen.id/posts/524057/kegagalan-mendidik-ibutunggal-dalam-novel-salah-asuhan-karya-abdoel-muis
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler