SBSN, Potensi Pertumbuhan Asuransi Syariah
SBSN sangat berpeluang dan pasar potensial bagi asuransi syariah.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wahyudin Rahman, Ketua Umum Kupasi 2022-2025, Akademisi Ekonomi Syariah
Pada pertengahan Desember 2022, DPR menetapkan RUU tentang Penguatan dan Pengembangan Sektor Keuangan (PPSK) menjadi UU. Melalui UU ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas persoalan yang ada di sektor keuangan termasuk perasuransian syariah.
Salah satu pasal dalam UU ini, kini tidak mewajibkan spin off Unit Usaha Syariah (UUS) pada perusahaan asuransi dan reasuransi yang sebelumnya diatur melalui pasal 87 UU No. 40 /2014 tentang perasuransian. Hadirnya UU PPSK menjadi lembaran baru UUS untuk memacu kembali pertumbuhan industri asuransi syariah.
Industri asuransi syariah mempunyai peran dalam menjaga stabilitas perekonomian. Namun, dalam 2 dekade terakhir, pertumbuhan stagnan dan pangsa pasar industri asuransi syariah tak lepas di 6 persen dari keseluruhan industri perasuransian dan tingkat penetrasi selalu berada di bawah 0,2 persen. Kondisi ini sangat miris di negara yang penduduknya mayoritas Muslim.
Selama ini juga pasar asuransi syariah yang berjalan hanya sebatas pemindahan tertanggung/peserta dari konvensional. Ada secerca harapan dari masuknya pasar baru seperti asuransi umrah dan haji serta beberapa aset/barang milik negara baru-baru ini, namun juga belum mengangkat industri ini.
Kenyataan di atas cukup menarik untuk dicermati. Upaya yang telah dilakukan untuk membangun industri asuransi syariah masih jauh dari yang diharapkan. Perlu upaya ekstra meraih dan menggarap pasar-pasar baru dalam ekosistem ekonomi syariah salah satunya adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
SBSN merupakan instrumen fiskal APBN yang diatur dalam UU N0. 19/2008 yang difokuskan untuk membiayai proyek dengan tujuan percepatan pembangunan, pengembangan pasar keuangan syariah dan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, SBSN menjadi primadona dan mempunyai daya tarik bagi investor termasuk investor milenial dan gen Z. Hal ini selain aman dan dijamin Pemerintah juga mempunyai imbal hasil yang kompetitif, adanya early redemption, dapat dibeli online dan pastinya bebas riba.
Peluang dan Potensi SBSN
Kehadiran SBSN sejak tahun 2008, belum mendorong pengunaan asuransi syariah sebagai rantai nilai halalnya dalam upaya perlindungan risiko pembangunan proyek dan underlying assets penerbitan SBSN. Ini masih menjadi pertanyaan, apakah pembangunan proyek tanpa menggunakan asuransi atau sudah tetapi dengan asuransi non syariah? Perlu klarifikasi yang jelas dari pemerintah.
Setidaknya ada lima aspek, SBSN sangat berpeluang dan pasar potensial bagi asuransi syariah, khususnya asuransi umum syariah. Pertama, Indonesia merupakan tiga besar kontributor pasar sukuk internasional tahun 2021 setelah Malaysia dan Arab Saudi. SBSN yang diterbitkan mencapai 23,65 miliar dolar AS, jumlah ini setara dengan 23,11 persen dari pangsa pasar sukuk global.
Kedua, SBSN telah membiayai 4248 proyek yang tersebar di 34 provinsi senilai Rp 175,38 triliun sepanjang 2013-2022. Nilai penerbitan SBSN setiap tahunnya terus meningkat sebesar 2 sampai 5 persen. Menurut BKF Kementerian Keuangan, penerbitan SBSN tahun 2023 sebesar Rp 34,4 triliun dengan pengajuan underlying assets sebesar Rp 395 triliun. Proyek yang dibiayai juga beragam antara lain pembangunan infrastruktur transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya yang memberikan dampak besar bagi perekonomian.
Ketiga, besarnya sektor pasar modal syariah tak terlepas dari dukungan asuransi syariah yang menempatkan dana investasi sesuai diatur POJK No. 1/2016. Sampai dengan Oktober 2022, mayoritas investasi asuransi syariah ditempatkan ke instrumen SBSN sebesar 41 persen atau Rp 12, 2 triliun (Statistik OJK). Jadi, sudah selayaknya harus ada hubungan timbal balik agar rantai nilai halal terus berjalan.
Keempat, berkaca pada Malaysia, penggunaan asuransi syariah di proyek infrastruktur dari penerbitan SBSN sudah dilakukan sejak tahun 2004 atau 3 tahun sejak sukuk diterbitkan (2001). Bahkan, Pemerintah Malaysia juga memprioritaskan asuransi syariah di setiap proyek pembangunan yang tidak terkait sukuk.
Kelima, bab VI pasal 52 UU PPSK juga memperbolehkan asuransi syariah memperluas usaha ke lini surety bond seperti jaminan tender, jaminan uang muka, jaminan pemeliharaan dan kontra bank garansi. Lini ini melindungi risiko kegagalan melaksanakan kewajiban dari penyedia jasa (principal) kepada pemilik proyek (oblegee).
Lima aspek ini, diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan signifikan dan pangsa pasar asuransi syariah melebihi 6 persen dengan penambahan kontribusi premi sampai dengan Rp 2 triliun yang berasal dari produk asuransi pembangunan proyek (engineering), property untuk barang milik negara sebagai underlying assets dan surety bond untuk penjaminan (kafalah) proyek.
Tantangan
Dalam mencapai tujuan, tentunya ada tantangan yang dihadapi. Pertama, dukungan Pemerintah dalam mempercepat penyusunan kebijakan penggunaan asuransi syariah guna kebutuhan perlindungan risiko dari penerbitan SBSN.
Selain itu, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan harus berkoordinasi kepada pemangku kepentingan utama lainnya seperti BUMN Karya yang terlibat sebagai pemilik proyek, bank syariah sebagai bank penyaluar serta otoritas terkait atas kebijakan ini.
Kedua, peningkatan kapasitas reasuransi syariah. Pelaku bisnis diharapkan dapat memperbesar retensi dan penyesuaian program reasuransinya guna dapat menerima risiko dengan limit pertanggungan yang besar dari SBSN.
Apabila kapasitas reasuransi belum mencukupi, pembentukan konsorsium menjadi solusi. Konsorsium dapat dikordinir oleh asosiasi. Mekanisme ini juga sesuai dengan prinsip asuransi syariah yakni tanggung renteng.
Tantangan ini akan mudah diatasi jika terjadi kolaborasi dan komitmen yang kuat antar pemangku kepentingan. Sehingga, tujuan memperkuat ekosistem ekonomi syariah dan visi Indonesia menjadi pusat ekonomi dan keuangan syariah dapat terlihat nyata dan bukan angan semata.