Pemimpin Berambisi Ingin Terus Berkuasa, Bagaimana Hukumnya?

Ada alasan yang dibenarkan bagi seorang pemimpin boleh meminta tambahan jabatan.

Republika/ Yasin Habibi
Pemimpin Berambisi Ingin Terus Berkuasa, Bagaimana Hukumnya?
Rep: Andrian Saputra Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagaimana hukumnya dalam Islam mengenai seorang pimpinan yang berkeinginan terus berkuasa padahal itu bertentangan dengan konstitusi di negaranya?

Baca Juga


Apakah itu boleh? Dalam kondisi atau alasan apa seorang pemimpin boleh mempertahankan masa kepemimpinannya atau memperpanjang kepemimpinannya? Dan dalam kondisi atau alasan apa seorang pemimpin tidak boleh terus-menerus berkuasa?

Pakar Fiqih yang juga Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta KH Mustain Nashoha mengatakan menginginkan jabatan terlalu berlebihan atau serakah terhadap jabatan merupakan perbuatan yang dilarang dalam ajaran Islam. Kendati demikian, menurutnya, boleh saja bagi seseorang yang ingin menjabat atau memimpin untuk kesekian kalinya asal tidak melanggar aturan yang berlaku dalam syariat Islam dan aturan negara yang berlaku. 

Dalam kitab Riyadhus Shalihin juga disebutkan di dalam Shahih al Bukhari dan Sahih Muslim dijelaskan Nabi SAW berkata pada seorang sahabat bernama Abu Sa'id Abdurrahman bin Samurah yang isinya adalah Nabi SAW melarang seorang Muslim meminta kekuasaan.

Sebab bila seseorang diberi kekuasaan tanpa memintanya, maka Allah SWT akan menolongnya dalam menjalankan kekuasaan tersebut. Namun, bila seseorang diberi kekuasaan karena meminta, maka orang tersebut akan diberikan beban dalam menjalankan kekuasaan itu. 

"Jadi kalau misalnya kekuasaan itu memang diinginkan rakyat ya tidak apa-apa. Misalnya, kita tidak ingin tapi kita dipilih diminta menjadi pejabat tertentu ya tidak apa-apa. Kita harus siap kalau diminta. Tapi kalau menginginkan sendiri itu sebaiknya jangan dalam syariat Islam. Tidak dicintai Nabi Muhammad SAW," kata Kiai Musta'in kepada Republika.co.id pada Kamis (12/1/2023).

Dalam kitab Fathul Bari Syarah Shahih Bukhari, Imam Ibnu Hajar al Asqalani mengatakan barangsiapa yang mencari kekuasaan dengan berlebihan atau tamak kekuasaan, maka orang tersebut tidak akan pernah mendapat pertolongan dari Allah SWT. Orang yang tidak mendapat pertolongan Allah, maka dia tidak akan diberi kemudahan dalam menjalankan kepemimpinannya.

Kiai Musta'in menjelaskan sebagaimana menukil keterangan Ibnu Hajar al Asqalani bahwa meminta kepemimpinan atau jabatan atau haus terhadap kekuasaan itu adalah perbuatan yang tidak diperbolehkan. Apalagi orang tersebut tidak memiliki kapabilitas atau tidak memiliki kemampuan melakukannya. Kiai Musta'in mengatakan tidak boleh memimpin bagi seseorang yang mengetahui bila dirinya menjadi pemimpin justru berpotensi akan terjerumus dalam larangan agama. 

"Dia tahu kalau dia menjadi pemimpin dia tidak akan bisa meninggalkan korupsi. Maka lebih baik dia meninggalkan jabatan tersebut. Dia tahu kalau jadi pemimpin tidak dapat menghindari kongkalikong, maka lebih baik dia meninggalkan itu," kata Kiai Musta'in. 

Namun, menurutnya, bila seseorang berusaha tawadhu atau rendah hati maka Allah SWT akan mengangkat derajatnya. Sehingga orang tersebut yang pada awalnya tidak mau menjadi pemimpin karena ketawadhuan, Allah kemudian mengangkat derajatnya dengan memberikan kekuasaan padanya.

Terkait meminta jabatan kepemimpinan, menurut Kiai Musta'in pada titik tertentu demi kemaslahatan boleh meminta jabatan bila seseorang yakin memiliki kapabilitas, yakin akan terjadi kemaslahatan, dan kalau tidak ada yang lain yang bisa memimpin maka boleh meminta jabatan tersebut. Sebagaimana Nabi Yusuf yang meminta menjadi bendahara Mesir dan Nabi Sulaiman yang meminta diberi kerajaan. 

Seseorang yang mau memimpin kembali padahal masa jabatannya sudah habis, maka wajib baginya mengikuti aturan konstitusi yang berlaku di negara tersebut. "Terkait masalah aturan yang sudah berlaku dalam konstitusi tentang batasan kepemimpinan kita wajib mentaatinya. Karena tentu aturan tersebut telah dibuat berdasarkan pertimbangan yang terbaik di dalam syariat atau terbaik di dalam ranah kemanusiannnya," katanya.

Kiai Musta'in mengatakan wajib senantiasa taat kepada aturan yang telah dibuat di dalam konstitusi negara selama aturan tersebut tidak mengajak kepada kemaksiatan. "Seorang pemimpin misalnya ada aturan menjabat sekian periode, kok pengen menjabat lebih dari itu, maka diperbolehkan tentu dengan cara-cara yang dibenarkan. Bukan dengan cara yang melanggar syariat Allah, seperti melakukan, tuduhan, dan penghinaan," katanya. 

Maka, menurut Kiai Musta'in, seorang pemimpin yang ingin kembali memimpin padahal telah habis masa kepemimpinannya sesuai konstitusi maka harus melakukan usulan melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Sehingga ada aturan dan mekanisme pengadilan yang harus dilalui.

 

"Maka misalnya pengen menjabat lagi ya diubah dulu aturannya setelah itu kemudian dia diperbolehkan menjabat lagi untuk kesekian kali. Karena pembatasan aturan itu kan ditentukan oleh manusia bukan syariat. Ditentukan pembuat konstitusi, maka kalau misalnya menurut orang tertentu tidak sepakat maka silakan gugat di pengadilan. Nanti berargumentasi hasilnya hakim yang menentukan mana yang lebih maslahat untuk bangsa," katanya.

Lalu, alasan apa yang membuat seorang pemimpin boleh meminta tambahan jabatan? Kiai Musta'in menukil sejumlah pendapat ulama bahwa pertama, adalah ketika orang tersebut masih memiliki kemampuan menjadi seorang pemimpin. Karena itu pemimpin tersebut harus mempunyai keyakinan dirinya mampu menjalankan kepemimpinannya lagi. 

Kedua, pemimpin tersebut memiliki kemampuan yang sangat dibutuhkan untuk kemaslahatan banyak orang, namun kemampuan itu tidak ada yang memilikinya kecuali pemimpin itu. Ketiga, ada pekerjaan yang lampau yang belum selesai. Tetapi, tidak boleh seorang pemimpin yang sudah selesai masa jabatannya memaksakan diri menambah program agar dapat meneruskan jabatannya.

Keempat, pemimpin tersebut diminta rakyatnya kembali menjabat. Sehingga bukan atas keinginan diri sendiri. Kelima, pemimpin yang ingin kembali berkuasa harus dengan mekanisme yang benar.

"Jadi kalau misalnya nafsu sendiri ini yang harus hati-hati. Karena nafsu itu biasanya mengajak kepada keburukan. Imam Ibnu Athoillah as Sakndari dalam Al Hikam melarang kita menuruti nafsu kita apalagi dalam urusan dunia dan jabatan," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler